Label

Minggu, 02 Oktober 2011

Ekonomi-Politik dan Gerakan Sosial

       Sungguh tak mudah membicarakan gerakan sosial di Indonesia, apalagi melakukan penilaian secara kritis! Tak mudah, karena ketika kita ingin berbicara tentang gerakan sosial, kita berhadapan dengan dua hal: Pertama, aspek teoretis, yang berupa beragamnya kerangka acuan yang dipakai dalam mendefinisikan, mempraktekkan, maupun mengikuti satu teori tertentu tentang gerakan sosial.


Kedua, aspek empiris, yang meliputi sejarah suatu negara, struktur ekonomi-politik dan sosialnya, modus kekuasannya, dan tentu saja sejarah pergerakannya. Dan yang tak kalah pentingnya, adalah bagaimana kedudukan negara tersebut dalam strukturasinya dengan ‘kapitalisme’. Aspek yang belakangan ini teramat penting untuk diabaikan, karena ia berkaitan dengan struktur ekonomi-politik suatu negeri

.
        Karena itu, upaya modelisasi gerakan sosial, sejauh ia hanya mencangkok secara teoretis pada pengalaman masyarakat Barat, yang tentu saja memiliki perbedaan dengan negara-negara di dunia ketiga, seperti di Asia Tenggara, atau Indonesia khususnya, atau negara-negara Amerika Latin, semisal Venezuela atau Kuba, niscaya mengalami kegagalan.


Usaha untuk menelaah kembali aspek teoretis dan empiris dari gerakan sosial di Indonesia adalah upaya yang sangat bagus. Usaha semacam ini, mengingatkan saya pada karya Lenin The Development of Capitalism in Russia, salah satu karya yang mengantarkan Bolshevik pada Revolusi Rusia. Apa yang dilakukan oleh Lenin itu, dengan segenap kelemahan dan kritik terhadapnya, adalah suatu upaya yang luar biasa. Ia, sembari menggerakkan gerakan massa yang revolusioner, tetapi juga terus berupaya untuk mengkaji perkembangan kapitalisme di Russia yang, sebagaimana terjadi di banyak negeri kapitalis pinggiran, tejadi akibat lompatan dari feodalisme [yang bertata-letak di desa dengan pertanian] kepada kapitalisme [yang bertata-letak di kota dengan industri]. Karya semacam itu lalu menjadi energi intelektual dan program-program riil yang tepat dari gerakan sosial. Tanpa usaha-usaha semacam itu, gerakan sosial hanyalah sekumpulan orang marah tetapi tanpa arah, tanpa program, dan tanpa tujuan yang jelas. Sebuah gerakan yang tuna-acuan!.


Jika dua prasyarat di atas kita letakkan sebagai batu alas dalam membincangkan gerakan sosial, maka kita masih akan disandung oleh ‘batu’ yang lain. Pertama, akar teoretis dari gerakan sosial mengalami eliminasi dan pengabaian sejak peristiwa pembantaian komunis dan pelarangan ajaran marxisme-leninisme di Indonesia. Saya tak hendak mengglorifikasinya, tetapi dari studi yang dilakukan Hilmar Farid [2006], kita mafhum betapa ‘teori kelas’ [baca: marxisme] telah lama menghilang dari khazanah ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Bahkan, suatu karya tentang watak dan sejarah kapitalisme di Indonesia, The Rise of Capitalism oleh Richard Robinson, yang begitu dipuja oleh kalangan kiri di Indonesia, sebagaimana ditunjukkan dalam studi Hilmar Farid, sesungguhnya justru tak memakai secara konsekuen ‘materialisme historis’.


Hal ini berarti bahwa peluang untuk membicarakan gerakan sosial dalam kerangka marxisme [biasa disebut dengan gerakan sosial lama atau gerakan berbasis kelas] mengalami hambatan yang luar biasa tak ringan. Dan sebagai konsekuensinya, gerakan sosial di Indonesia masih dihinggapi oleh “gagap-marxisme” dan karenanya gagap terhadap gerakan sosial lama. Maka bisa diwajari jika kita juga akan lebih tergagap-gagap jika membicarakan tentang gerakan sosial baru

.
Tetapi, sebagaimana dikaji oleh Hadiz dan Dakhidae [2006], proses itu bukan hanya terjadi karena pelarangan ajaran marxisme saja, melainkan juga dikirimnya sejumlah intelektual, baik dari Amerika maupun Eropa [Geertz, Pauker, dll] untuk membendung kajian-kajian yang berbasis teori kelas yang begitu marak tumbuh sebelum 1965-1966 (Wertheim, Kampto Utomo/Sajogjo, dll)


Kedua, karenanya hal itu berpengaruh pada perkembangan gerakan sosial. Di Indonesia, setelah model gerakan berbasis marxisme [misalnya tercermin pada gerakan politik PKI dan Murba, dan segenap sayap-sayapnya] mengalami ‘kekalahan’ secara serius, maka yang terlebih dahulu muncul adalah gerakan-gerakan yang mengadopsi pemikiran liberalisme Barat sebagai penopangnya. Di fase-fase ini, yaitu terjadi pada sekitar 1980-an hingga 1990-an, yang lebih tersebar adalah pola-pola gerakan berbasis masyarakat sipil [civil society]. Pertumbuhan masyarakat sipil di era-era tersebut, sebagaimana dikonstatasi oleh Mansour Faqih dan Muhammad AS Hikam, tak lagi menjadikan marxisme sebagai acuan gerakannya, melainkan menimba inspirasinya dari teori-teori modernisme seperti Talcott Parson, atau gagasan liberal dari Alexis de Tocquiville, Vaclav Havel, dan sedikit di antaranya mengadopsi gagasan Antonio Gramsci. Perbedaan ini, sebagai akibatnya, juga memberikan corak yang tak sederhana bagi perkembangan gerakan sosial selanjutnya. Perkembangan itu di antaranya adalah bahwa gerakan masyarakat sipil di Indonesia, lebih memfokuskan analisis dan tindakannya pada otoritarianisme negara Orde Baru an sich, daripada pergulatan negara Orde Baru dengan kapitalisme internasional. Belakangan, sekitar pertengahan tahun 80-an, ketika kajian tentang teori ketergantungan [madzhab dependensia] mulai digaungkan oleh Sritua Arief dan Adi sasono, perhatian terhadap proses penghisapan kapitalisme di Indonesia mulai marak kembali. Sayangnya, setelah Sritua Arief harus mengungsi dari negeri ini, dan Adi Sasono meninggalkan ‘imannya’ tersebut, madzhab dependensia mulai kehilangan surut dan kehilangan pengaruhnya. Sebagian kecil intelektual yang mengimaninya, seperti Mubyarto, Sri Edi Swasono, dan belakangan Revrisond Baswir, tetap konsisten membicarakannya, walaupun gaungnya semakin melemah


Akibatnya tentu tak sederhana, selama tiga dekade [30 tahunan] kita kehilangan isnpirasi teoretis dan praksis yang sebenarnya sangat berguna dari model-model gerakan berbasis marxisme. Hal ini pula yang akan semakin menyulitkan, jika kita secara terburu-buru hendak mengadopsi pengalaman dan praktek gerakan sosial yang saat ini menuai kemenangan seperti di Venezuela atau Bolivia.


Agar gerakan sosial tak melakukan pragmatisme, atau apa yang dalam pengalaman sosialisme China disebut sebagai “crossing the river by felling for the stones”, maka menurut saya, ada beberapa refleksi yang perlu dilakukan. Pertama, gerakan sosial, apa pun spektrumnya, kini dihadapkan pada terjangan kapitalisme yang begitu buas. Aspek inilah yang hendaknya menjadi batu alas pertama bagi perjuangan gerakan sosial di Indonesia. Apa konsekuensinya dari poin ini? Maka, [i], gerakan sosial harus mengurai, menganalisis dan meletakkan kembali kapitalisme dalam ‘meja bedah’ teoretisnya. Artinya, disini gerakan dituntut untuk membincangkan kembali kapitalisme di Indonesia [baik dari segi modus produksi, modus apropriation of surplus value-nya, modus ideologinya, dan pola-pola resistensi terhadapnya]. Kerja semacam ini penting, supaya gerakan tak mengalami “crossing the river by felling the stone” atau hanya bekerja karena kondisi obyektif saja [pengalaman kekalahan gerakan reformasi 98 bisa kita jadikan contoh]; [ii] jika pun analisa terhadap kapitalisme sudah dilakukan, maka hal lain yang perlu diperhatikan ialah agar tidak terlalu bertumpu pada analisa marxisme-leninisme belaka. Sebagai suatu kerangka awal, tentu saja, analisa marxisme-leninisme sangat berguna. Tetapi jika terlalu bertumpu pada hal itu, dan mengabaikan kerangka teori yang lain, maka akan membuat gerakan sosial di Indonesia kehilangan fantasi dan imajinasi gerakan untuk mengembangkan suatu model gerakan yang lebih luas. Karena itu, kerangka kerja dari Antonio Gramsci tentang hegemoni, atau Louis Althusser tentang ideologi, yang sebagai konsekuensinya adalah untuk memicu gerakan gerakan perlawanan berbasis kebudayaan, ideologi, dan beserta aparatusnya, yang menanamkan ideologi kapitalisme secara tak sadar [profoundly unconscious] dan laten, diperlukan sebagai suatu alat analisis untuk melengkapi kajian terhadap kapitalisme. Bukan hanya itu, teori-teori kritis pun pada dasarnya sangat berguna untuk memahami hakekat kapitalisme lanjut ini. Di titik ini, maka gerakan sosial di Indonesia perlu memperkaya khazanah teoretisnya, dan tentu saja aspek praktikalnya.


Kedua, mencari jalan alternatif terhadap kapitalisme. Tak ada gerakan sosial tanpa utopia atas struktur sosial baru yang ingin diciptakannya. Lalu darimana utopia ini diciptakan? Jika kita sejak awal sudah menyadari bahwa alternatif itu haruslah berupa alternatif terhadap kapitalisme, maka secara perlahan-lahan di tengah struktur sosial yang kian rumit dan acak, kita harus berupaya menata-ulang agar aspek modus-produksi kita tak lagi kapitalistik, agar struktur sosial kita tak lagi menghisap, agar modus kuasa kita tak lagi hegemonik dan dominatif. Pendeknya, yang kita butuhkan adalah seperti apa yang dikatakan oleh Chavez tentang sosialisme abad 21, yaitu “sosialisme yang belajar dari pengalaman sosialisme abad 20”. Satu catatan lagi, ketimbang bersifat retoris dan semata-mata ideologis, alternatif ini haruslah bersifat riil, praktikal, dan kongkret.


Ketiga, berhadapan dengan arus deras kapitalisme neoliberal yang menumpukan modus produksinya pada negara, maka mau tak mau kini gerakan sosial harus berbicara tentang kekuasaan. Aspek ini menjadi sedemikian penting dalam alam demokrasi liberal ini, sebab negaralah tempat bertumpu kapitalisme neoliberal ini. Sejauh demokrasi liberal hanya diisi oleh kaum oligarkh dan elit yang menghamba pada modal, maka akan semakin sulit bagi gerakan sosial untuk merubah struktur sosial jika berada di luar mekanisme demokrasi liberal. Akan tetapi, kita pun harus berhati-hati untuk menghindari jebakan dari apa yang disebut oleh Samir Amin sebagai “re-kompradorisasi” (re-compradorization). Jebakan ini merujuk pada dua hal, yaitu [i] kekuatan progresif terjatuh kembali dan mengulangi pola serta struktur kekuasaan yang lama; dan [ii] kekuatan progresif berbalik arah kembali bersekutu dengan pemilik modal dan, biasanya, dengan partai politik oligarkh atau militer.

Penutup
Sebagai langkah awal, saya kira, gerakan sosial harus mengurai kembali, dan menganalisis ihwal kekuasaan, dan utamanya yang terkait dengan jejaring kapitalisme sebagai simpulnya. Di titik ini sumbangan marxisme, baik yang bersifat klasik maupun post-marxisme menjadi penting. Tetapi bukan untuk menuntun realitas menjadi sesuai dengan teori marxisme, melainkan ia hanya sebagai alat analisis belaka.
Dalam kaitannya dengan hal itu, saya lalu teringat seruan Jacques Derrida, dalam Spectre of Marxism, “Tidak tanpa Marx, tak ada masa depan tanpa Marx, tanpa kenangan dan warisan Marx: dalam berbagai hal tertentu dari Marx, dari kejeniusannya, setidaknya dari salah satu spiritnya… apakah mereka mengharapkannya atau mengetahuinya atau tidak, semua kaum laki-laki dan perempuan, di seluruh penjuru bumi, hingga taraf tertentu saat ini adalah pewaris Marx dan Marxisme… kita tak mungkin bukan pewarisnya”.

Sosialisme Abad 21: Utopia Keadilan dan Kemanusiaan

Pada sebuah pidato penutupan Forum Sosial Dunia yang diadakan di Venezuela pada 30 Januari 2006, presiden Venezuela Hugo Chavez mengungkapkan satu istilah yang lantas menjadi bahan kontroversi di negerinya: Sosialisme Abad 21. Menurut Chavez, program Revolusi Bolivarian yang dicanangkan di negerinya adalah untuk mendukung visi tersebut. Bagi Chavez, sosialisme abad 21 adalah varian baru sosialisme yang bersimpangan jalan dan bahkan belajar dari pengalaman sosialisme abad 20. Meski belum memiliki perspektif teoretis yang mapan, dalam kata-kata Chavez sendiri, sosialisme abad 21 adalah “sosialisme baru yang berbeda dari sosialisme negara yang diterapkan di Uni Soviet, Eropa Timur atau Kuba hari ini, ia akan menjadi sosialisme yang berwatak pluralistik dan tidak terlalu terpusat pada negara…sosialisme yang berdasar pada prinsip solidaritas, persaudaraan, kasih sayang, keadilan, kebebasan dan persamaan hak”.

Tak hanya pandai berpidato seperti presiden di negeri ini, pemerintahan Chavez secara nyata berusaha mewujudkan sosialisme dengan program Revolusi Bolivarian yang berpihak dan berpijak pada kaum miskin. Di antara berbagai program tersebut di antaranya adalah program land reform—program ini konon juga merupakan janji SBY semasa dia berkampanye dulu—yang memberikan kesempatan bagi kaum miskin untuk menguasai sekian hektar lahan dan merevitalisasi pertanian Venezuela. Selain itu, Chavez juga menasionalisasi beberapa perusahaan strategis. Tak tanggung-tanggung, pemerintahan Chavez juga memiliki serangkaian program kesejahteraan bagi kaum miskin, seperti perumahan, layanan kesehatan dan pendidikan murah, serta KTP murah yang juga berfungsi sebagai kartu untuk jasa layanan sosial lainnya.

Buku karangan Michael Newman, Sosialisme Abad 21: Jalan Alternatif atas Neoliberalisme, (Resist Book: 2006) memang tak ada kaitan langsung dengan gelombang kebangkitan sosialisme di Amerika Latin ataupun Revolusi Bolivarian yang digagas oleh Hugo Chavez. Tetapi, karya Newman menilik lebih dalam dan lebih teoretis ihwal sosialisme: tradisi-tradisinya pemikiranya, aktivisme politiknya, dan termasuk masa depannya di abad 21. Tak pelak, sejak kehancuran sosialisme-komunisme di Uni Soviet dan berkobarnya kapitalisme dalam bentuk mutakhirnya yang paling biadab, kapitalisme neoliberal, sebagai ideologi pemenang tunggal peradaban, membuat seakan sosialisme adalah ideologi reaksioner yang paling ketinggalan jaman. Fenomena ini ditegaskan oleh Fukuyama melalui frasanya yang terkenal: sejarah telah berakhir, kapitalisme dan demokrasi liberal adalah sang pemenang. Bagi para pengritiknya, sosialisme selalu diidentikkan dengan sistem politik yang totaliter, serta sistem ekonomi yang melulu di bawah kontrol dan perencanaan ketat negara. Karena itu, menurut mereka, sosialisme dianggap sebagai ideologi yang sudah menempati liang kubur peradaban. Tak patut untuk bangkit dan dibangkitkan.

Gambaran buram sosialisme yang semacam itu, yang tampaknya menjadi kegelisahan seorang Newman. Dalam buku kecil yang padat dan ketat ini, Newman mencoba membongkar lebih dalam tentang apa itu sosialisme; adakah praktik sosialisme yang lain daripada yang telah dikembangkan oleh Uni Soviet atau China di masa lalu; dan akhirnya apakah sosialisme masih mempunyai masa depan di abad 21; dan apa prasyaratnya.

Ketimbang terjebak pada kubangan pertentangan ideologis di tubuh kaum sosialis sendiri, Newman, yang merupakan profesor politik, lebih menilik secara ilmiah tentang varian-varian sosialisme, baik dalam tradisi pemikirannya maupun praktik politiknya. Dalam semangat semacam ini, maka Newman lebih asyik menyusuri kekayaan dan pluralitas tradisi sosialisme—yang terbentang dari sosialisme utopis, anarkisme, marxisme, hingga sosial demokrasi dan komunisme—daripada membela satu varian sosialisme yang lebih dominan. Dengan melakukan studi lintas tradisi seperti itu, maka Newman berupaya untuk menganalisis secara ilmiah tentang kelemahan dan kemajuan praktik sosialisme, untuk kemudian mengajukan formula sosialisme yang relevan, yang sanggup menantang arus deras kapitalisme neoliberal.

Salah satu medan analisis tentang praktik sosialisme yang diambil dalam studi Newman adalah sosial demokrasi Swedia dan komunisme Kuba. Keduanya dipilih karena, dalam tahap-tahap tertentu, dianggap paling kenyal dalam menghadapi serbuan kapitalisme. Sosial demokrasi Swedia adalah hasil dari pertentangan yang tak terdamaikan antara kubu revisionisme yang dimotori oleh Eduard Bernstein dengan kubu komunisme yang dimotori oleh kubu Bolshevisme Rusia. Berbeda dengan kaum komunis yang lebih memilih jalan revolsui sosial sebagai tonggak untuk mendirikan sosialisme, kubu sosial demokrasi lebih menyukai strategi parlementarianisme dalam alam demokrasi liberal. Sosial demokrasi di Swedia dimotori oleh SAP (Partai Sosial Demokratik Swedia)—sebuah partai yang pada awalnya tunduk pada garis Marxisme sampai kemudian ia lebih memilih ada seruan-seruan revisonisme. Setelah mulai berkuasa pada tahun 1932, di bawah kepemimpinan Par Albin Hansson, SAP mencoba menggagas konsep kunci yang mendasari penerapan sosialisme Swedia. Beberapa konsep kunci tersebut adalah folkhemmet atau ‘negara sebagai rumah masyarakat’. Konsep kunci ini kemudian memiliki lima tema sentral turunan, yaitu demokrasi integratif, sejenis demokrasi yang berupaya untuk memasukkan elemen buruh dan pekerja dalam sistem politik dan ekonomi Swedia. Konsep kedua adalah rumah masyarakat, artinya negara bertindak pada asas kesetaraan perlakuan dan solidaritas sosial. Sedangkan konsep ketiga adalah kesetaraan sosio-ekonomi dan efesiensi ekonomi, yang berkaitan dengan konsep keempat yaitu mengontrol ekonomi pasar secara sosial, dan terakhir adalah ekspansi sektor publik yang didasarkan atas kebebasan pilihan. Meski tidak memiliki akat teori yang ketat, tetapi lima asas tadi setidaknya menjadi panduan bagi bangunan negara kesejahteraan (welfare state) yang diberlakukan oleh Swedia. Walhasil, ada beberapa hasil capaian positif yang dituai. Diantaranya adalah meningkatnya mutu pendidikan sebagai hasil dari diintensifkannya belanja publik, keterlibatan masyarakatnya yang tinggi dalam organisasi sosial, dan kesenjangan upah yang mencapai tingkat minimum.

Sedangkan komunisme Kuba, dalam studi Newman dianggap memiliki kekhasan dibandingkan komunisme yang dijalankan Uni Soviet atau China. Semenjak Fidel Castro merebut kekuasaan Kuba dari tangan rejim Batista yang korup, maka elemen-elemen komunisme di Kuba, dengan bantuan Uni Soviet saat itu, mulai ditegakkan. Serangkaian kebijakan revolusioner mulai diterapkan, diantaranya adalah reforma agraria radikal, pajak progresif untuk menyokong ekonomi nasional dibanding bersandar pada investasi asing, menyokong ekonomi rakyat dan pembangunan di provinsi-provinsi kecil, serta kontrol atas ekspor dan perdagangan luar negeri. Ketika terjadi konflik dengan AS—sebagai akibat dari pertentangan AS pada revolusi Kuba—pada tahun 1961, Castro semakin mengubah haluan revolusinya menjadi revolusi yang berwatak sosialis. Mulai saat itu, berbagai kebijakan yang lebih berorientasi pada orang miskin—sebelum revolusi, Kuba adalah negara yang kaya, tetapi dengan tingkat kesenjangan sosial dan kemiskinan yang tinggi—dijalankan oleh rejim ini. Program pendidikan dan kesehatan adalah dua hal yang paling mengesankan yang dicapai oleh komunisme Kuba. Di bawah pemerintahan Castro, Kuba adalah negara yang memiliki fasilitas kesehatan dan jumlah dokter yang terbaik di Amerika Latin. Prestasi ini ditambah dengan adanya pemerataan program kesehatan tersebut, baik di kota maupun di pelosok desa, secara gratis. Karena itu, Kuba juga mencapai tingkat harapan hidup yang semakin meningkat. Sedangkan di bidang pendidikan, prestasi cemerlang juga ditorehkan oleh pemerintahan Castro, dimana semua level pendidikan, dari pendidikan dasar hingga tinggi, gratis dan ditanggung oleh negara. Beberapa prestasi ini semakin mengkilap dengan menurunnya tingkat kesenjangan ras, dan meningkatnya partisipasi gender.

Meski demikian, seiring dengan serbuan kapitalisme pasar bebas yang mengguncangkan sendi-sendi perekonomian nasional di kedua negara tersebut, pencapaian sosial itu mulai menuai ancaman. Bahkan dalam beberapa hal, Kuba mulai mengakomodasi prinsip-prinsip terbatas kapitalisme. Sementara itu, tradisi pemikiran sosialis juga semakin diperkaya dengan kehadiran pemikiran Kiri Baru, feminisme sosialis, dan sosialisme hijau. Berbagai varian sosialisme ini hadir sebagai jawaban atas totalitarianisme komunis dan monopoli kapitalisme yang semakin meminggirkan peran perempuan, mengancam kelangsungan ekologis.

Setelah melakukan evaluasi atas pelbagai praktik dan pemikiran sosialisme, buku Newman ini diakhiri dengan mencoba mengajukan beberapa elemen-elemen dasar bagi terbangunnya sosialisme abad 21. Menurutnya, dari beberapa praktik sosialisme tersebut terdapat beberapa pelajaran yang bisa diambil oleh kaum sosialis. Pertama, sosialisme abad 21, adalah sosialisme yang berwatak demokratis, baik dalam organisasi maupun intitusinya. Dalam makna yang lebih luas, gerakan kaum sosialis yang seringkali terfragmentasi, harus belajar untuk mendirikan sebuah front demokratis dan partisipatoris. Kedua, kaum sosialis harus berupaya mengambangkan sebuah model ekonomi alternatif yang berkesinambungan. Pengalaman di Swedia dan Kuba mengajarkan bahwa pencapaian kemajuan sosial akan mudah goyah jika prestasi ekonomi juga menurun. Karena itu, solidaritas antar negara sosialis untuk melakukan perdagangan internasional atas dasar saling melengkapi (daripada kompetisi), solidaritas (daripada dominasi), kerjasama (daripada eksploitasi), dan penghormatan kedaulatan rakyat (daripada kekuasaan korporasi), menjadi dasar-dasar yang penting bagi pembangunan sosialisme di abad ini. Ketiga, sosialisme abad 21 harus berupaya untuk memberikan jawaban kongkrit atas berbagai masalah yang ditimbulkan oleh monopoli kapitalisme yang merangsek ke dalam semua bidang kehidupan. Karena itu, dibanding harus berawatak ideologis-totalistik, sosialisme abad ini harus berani untuk memecah doktrin-doktrin Marxisme dan mengkombinasikannya dengan elemen-elemen lain yang progresif. Dan terakhir, keempat, sosialisme di abad ini harus secara serius mengembangkan proyek utopia kemanusiaan bahwa ada jalan lain di luar kapitalisme neoliberal. Proyek utopia ini menjadi semakin penting, sebab janji-janji profetis kapitalisme atas dunia mulai menguap, sementara krisis kapitalisme mulai menjelang di ufuk peradaban.

Demokrasi Sosial

Demokrasi Sosial
James Petras
Rebelión

Ketika saya masih muda, seorang guru ilmu sosial di SMU saya, seorang lelaki yang bijak dan berani (waktu itu sekitar awal 1950an) secara menggebu-gebu mempertahankan gagasan “Third Way”. Dia merupakan pembela gagasan demokrasi sosial yang kukuh sekaligus membenci tirani komunisme dan kapitalisme yang biadab. Bagi seseorang yang tumbuh dan hidup dalam kota industri yang jorok, sebelah utara sedikit dari kota Boston, demokrasi sosial merupakan seperangkat kepercayaan yang memiliki daya tarik, meskipun sebagian orang dibingungkan oleh kenyataan-kenyataan (tentang demokrasi sosial) yang tak memadai. Tak seorang pun, benar-benar mempertanyakan gagasan demokrasi sosial, tetapi kadang-kadang sebagian dari kita akan mempertanyakan pertanyaan yang nyeleneh.

”Kenapa?, tanya seseorang yang paling pintar dan cerdas di kelas kami, “Inggris, yang katanya memiliki pemerintahan buruh demokrasi sosial, mendukung AS dalam melawan Rusia, meskipun ia mengikuti Third Way?”
Guru tercinta kami melepaskan kacamatanya, berdiri dan melangkah ke depan lalu mulai berbicara. “Itu pertanyaan yang baik jika kita hidup dalam dunia yang sangat ideal. Tetapi dalam dunia nyata, kita harus menentukan pilihan-pilihan praktis, dan jelas bahwa demokrasi sosial lebih memiliki kesamaan dengan demokrasi kapitalis ketimbang totalitarianisme komunis,” ujarnya sambil berdehem. “Kadangkala, demokrasi sosial harus melakukan sekian kompromi. Sesuatu yang taktis, tentu saja, tetapi itu semua demi memperoleh tujuan utama yaitu kebebasan dan kesamaan untuk semua.”

Di lain kesempatan, ketika berbicara tentang peran vital yang dimainkan oleh demokrasi sosial dalam menciptakan perdamaian dunia, guru tersayang kami ditanya apakah demokrasi sosial Eropa menyokong Perang Korea.
“Ya tentu saja, AS-lah yang berkuasa…dan Dewan Keamanan juga. Demokrasi sosial tidak melawan perang yang adil; ia hanya menentang perang yang tak adil–seperti invasi Korea oleh orang-orang Korea. Orang-orang Korea Utara menyerang Korea Selatan.”

Dia kemudian dengan penuh semangat dan sejelas-jelasnya mendefinisikan perbedaan antara perang yang adil dan tak adil, meskipun beberapa murid kelas pekerja-utamanya mereka yang terkena wajib militer setelah lulus, tidak terlampau memperhatikan, tidak seperti murid yang terpandai dan tercerdas, yang memakai dasi dan hendak melanjutkan ke univeritas; mereka tampak menyimak dan terkesan dengan pengetahuannya.

Kemudian aku menghadapi hidup dengan latarbelakang kemampuan praktis, yaitu sebuah pendidikan klasik yang sekarang diberi nama “humaniora.” Setelah lulus dari universitas, saya beranjak ke dunia bisnis, dan kerapkali menjalankan bisnis di luar negeri dan domestik. Saya hanya punya waktu sedikit untuk mengikuti aajaran-ajaran Third Way dari guru favorit SMU saya, meskipun saya sepenuhnya tidak dapat melupakan ajaran moralnya tentang “masyarakat yang baik”. Namun dalam kehidupanku kelak, khususnya pada awal 1990′an, bisnis mengantarkan saya ke Eropa Timur dan Rusia.

Demokrasi Sosial pada abad ke 19. Gelombang kedua adalah sosialisme ‘Fordisme’: modal membayar untuk kesejahteraan sosial. Itu adalah abad ke 20. Sekarang, kita berada dalam Gelombang Ketiga: tekhnologi pos-’Fordist’: tahapan revoluioner pos-industri. Kami kaum sosialis menguasai jalan menuju modernisasi, kami lwbih banyak memprivatisasi berbagai pelayanan publik daripada pelbagai rejim di Perancis sebelumnya sepanjang sejarah .” matanya membelalak dengan penuh kegairahan. “hanya kami yang dapat melakukan itu. Karena para pekerja, atau setidaknya pimpinan serikat buruh mempercayai kami dan bagaimanapun beberapa dari mereka mendapatkan banyak bantuan dana dari pemerintah untuk program ‘job-retraining’.”

“Dimana gagasan guruku tentang negara kesejahteraan?”?” saya berkata kepada iri sendiri setengah berbisik.

“negara kesejahteraan menimbulkan ketergantungan, passifitas, dan kekurangan inisiatif. Jadi kami menurunkan subsidi bagi pengangguran dan menyediakan insentif untuk pelatihan pekerjaan dan mengambil apapaun tawaran dalam pasar kerja. Liberalisme sosial adalah gagasan yang revolusioner pada abad ke 21 ini.”

Jalan Sesat Demokrasi Liberal dan Neoliberalisme

 “Sejarah telah usai,” teriak Francis Fukuyama. Seruan itu tepat didengungkan setelah komunisme di Uni Sovyet runtuh lewat program glasnost dan perestroika dan hampir bersamaan dengannya China juga mulai membuka ekonomi nasionalnya. Komunisme dan model ekonomi-terpimpin yang awalnya begitu gagah dan tangguh melawan kapitalisme dan demokrasi liberal, tiba-tiba jatuh tersungkur tak bangkit lagi. Perang Dingin usai sudah. Lewat seruan Fukuyama itu genderang kemenangan sudah ditabuh. Hingga kini, Demokrasi Liberal dan Kapitalisme menjadi pemenang tunggal peradaban. Lantas, seperti Fukuyama ungkapkan, tugas manusia modern menjadi semakin ironis; hanya merawat dunia yang laksana museum tambo. Tidak ada lagi gairah, perlawanan dan antidot. Cerita tentang sosok Che sang petualang revolusi sudah harus dikubur dalam-dalam. Kisah heroik Lenin hanya tinggal sejarah di buku-buku, keberanian Usamah bin Laden cukup hanya tersemat di kaos-kaos anak muda saja. Narasi besar tentang revolusi dan perlawanan massa hendak diakhiri, tetapi narasi besar yang lain, yang berwujud demokrasi liberal dan kapitalisme harus tetap dibiarkan melenggang. Lantas seorang sastrawan Indonesia, Gunawan Mohamad, mengamininya dengan menuliskan sebuah buku; Setelah Revolusi Tak Ada Lagi.


Benarkah Demokrasi Liberal dan kapitalisme adalah satu-satunya kebenaran? Benarkah tidak akan ada perlawanan terhadap dominasi “Two Towers” (baca: demokrasi liberal dan kapitalisme) ini? Benarkah ini sistem yang terbaik? Benarkah kapitalisme dan demokrasi liberal tidak akan mengalami krisis dan kontradiksi internalnya?

Petaka Demokrasi Liberal


Krisis dan kritik terhadap model demokrasi liberal sebenarnya sudah jauh hari diingatkan oleh beberapa kalangan. Kritik terhadap demokrasi datang dari tradisi Marxisme - utamanya Lenin – yang menyebut bahwa demokrasi sebenarnya adalah siasat kaum borjuis. Lenin mengolok demokrasi liberal sebagai kediktatoran kaum borjuis (the dictatorship of borguise), dimana instrumen dan sumberdaya kekuasaan yang berupa hukum, ekonomi dan politik terkonsentrasi pada segelintir kelompok borjuis saja. Karena itu, alih-alih berpihak kepada kesejahteraan proletar, model demokrasi ini hanya akan menghasilkan model politik massa mengambang serta lahirnya oligarkh dan teknokrat politik yang enggan berbaur dan menjawab tuntutan serta penderitaan rakyat

.
Tidak hanya pada tradisi marxisme, kritik terhadap demokrasi liberal juga datang dari kalangan pendukungnya sendiri. Ironi ini bermula dari teoretisi demokrasi Joseph Schumpeter yang menafsirkan demokrasi hanya terbatas sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui pemilu yang kompetitif dan adil. Senada dengan itu, Samuel P. Huntington, sama naifnya dengan Schumpeter, juga menyanyikan nada yang seirama. Bagi Huntington, kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur dan berkala dan partisipasi rakyat yang tinggi selama pemilu. Cita-cita mulia demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat dibutuhkan dan ditambang hanya ketika pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat ditendang dan dikhianati; kebijakan publik tidak lagi memihak rakyat, harga-harga semakin mahal, penggusuran dimana-mana, BBM dinaikkan, pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan, kemiskinan dan pengangguran tetap saja berkembang biak. Demokrasi, dalam cita-cita yang sesungguhnya, perlahan-lahan mati


Dalam konteks ini kritik Geoff Mulgan terhadap paradoks demokrasi sangat tepat dan jitu. Ada tiga hal pokok dalam kritiknya terhadap demokrasi. Pertama, demokrasi cenderung melahirkan oligarki dan teknokrasi. Bagaimana mungkin tuntutan rakyat banyak bisa diwakili dan digantikan oleh segelintir orang yang menilai politik sebagai karier untuk menambang keuntungan finansial?


Kedua, prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan kompetisi juga telah dibajak oleh kekuatan modal. Yang disebut keterbukaan, hanya berarti keterbukaan untuk berusaha bagi pemilik modal besar, kebebasan artinya kebebasan untuk berinvestasi bagi perusahaan multinasional, kompetisi dimaknai sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipu daya


Ketiga, media yang mereduksi partisipasi rakyat. Kelihaian media mengemas opini publik membuat moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung menggantikan partisipasi rakyat. Ini berujung pada semakin kecil dan terpinggirkannya ‘partisipasi langsung’ dan ‘kedaulatan langsung’ rakyat.
Tidak hanya itu, sesat pikir kaum demokrasi prosedural juga karena ia menyembunyikan fakta tentang negara dan kekuasaan. Negara, seperti kita semua maklum, adalah tempat akses dan relasi ekonomi, politik, hukum berlangsung. Karena itu, sistem demokrasi juga berhadapan dengan masalah ekonomi. Negara dan sistem demokrasi juga berhubungan dengan masalah bagaimana menciptakan kesejahteraan, bagaimana menjalankan dan mengatur finansial sebuah negara. Karena itu negara membutuhkan sebuah persekutuan yang taktis dan cepat. Karena hanya model ekonomi kapitalisme yang tersedia - yang bertumpu pada kekuatan modal besar -, maka demokrasi membutuhkan kapitalisme, begitu juga sebaliknya. Dari sini, persekutuan najis itu mulai tercipta.


Di ujung jalan, tampaknya kapitalismelah yang berkuasa. Atas nama kemajuan dan perdagangan bebas, ia mulai mengangkangi negara. Atas nama pertumbuhan ekonomi, ia mulai menyiasati demokrasi. Lalu muncullah makhluk lama dengan baju yang baru: neoliberalisme. Sebuah makhluk yang mengendap-endap muncul, lalu menjalankan taktik “silent takeover”. Istilah terakhir ini dipinjam dari Noreena Heertz, artinya kurang lebih sebuah Penjajahan Yang Terselubung


Pada awalnya hanyalah gagasan. Neoliberalisme digulirkan sekelompok intelektual di sebuah dataran tinggi Mont Pelerin di Swiss. Beberapa pemikir, pengusaha dan media ini memperbincangkan dan mengangankan sebuah tata dunia baru yang tanpa tapal batas; sebuah tata dunia baru yang dikendalikan sepenuhnya oleh pasar dan kekuatan modal; sebuah tata dunia yang berjalan tanpa aturan negara; sebuah tata dunia yang meninggalkan negara kesejahteraan a la Keynessian menuju pasar bebas. Neoliberalisme kemudian dikenal sebagai sebuah kendaraan yang mengusung satu proyek besar dunia; globalisasi. Gagasan ini kemudian dengan cepat menjadi sebuah ‘horor global’ ketika ia diadopsi menjadi sebuah tata dunia baru. Ini terjadi setelah administrasi Reagen dan Tatcher mengadopsi gagasan Mont Pelerin Society ini. Setelah itu, hampir semua kebijakan dan lembaga internasional seperti World Bank, IMF dan WTO praktis mengalami perubahan untuk mendukung paham globalisasi.


Paling tidak, ada dua faktor yang mendorong kenapa gagasan tentang neoliberalisme ini dipakai dan diadopsi oleh rejim anglo-america tersebut. Pertama, ada krisis besar dan resesi ekonomi dunia yang utamanya mengenai Amerika Serikat. Krisis ini semacam krisis overproduksi yang menimpa sejumlah perusahaan multinasional dan perbankan yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme negara yang dianut oleh kebanyakan negara-negara dunia ketiga dan negara-negara miskin. Kedua, model negara kesejahteraan (welfare state) mengalami kebangkrutan akibat besarnya pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh negara untuk jaminan sosialnya rakyatnya.


Dengan demikian, kemenangan gagasan neoliberalisme adalah kemenangan bagi perusahaan multinasional dan sejumlah korporasi yang merasa menderita pada jaman kapitalisme negara. Termasuk juga kemenangan bagi negara maju dan sejumlah korporasinya untuk memberi ‘tekanan’ pada negara miskin agar mematuhi doktrin khas neoliberal: liberalisasi-privatisai-deregulasi. Pendeknya setelah jaman globalisasi neoliberal menjelang, maka tapak-tapak imperialisme ini mulai berjalan. Ini bisa ditandai oleh semakin mengguritanya korporasi internasional yang bersiap mencengkeram seluruh kehidupan rakyat.


Noreena Hertz punya gambaran yang menarik, bagaimana suasana yang terjadi setelah dunia berada dalam jaman globalisasi neoliberal ini. Menurutnya, selama berlangsungnya era globalisasi yang ditandai oleh kebijakan privatisasi, deregulasi dan liberalisasi perdagangan, dan kemajuan teknologi komunikasi, terjadi pergeseran kekuasaan. Kekuasaan pasar dan korporasi global tiba-tiba tumbuh mejadi monster yang bisa mengancam keberadaan negara dan demokrasi rakyat.


Dalam data yang dimiliki oleh Noreena tercatat ada 100 perusahaan multinasional terbesar mengontrol 20% aset asing global, 51 dari 100 negara terbesar dunia adalah perusahaan, hanya 49 yang merupakan negara bangsa. Penjualan General Motor dan Ford lebih besar daripada GDP seluruh negara-negara sub-sahara Afrika. Aset IBM, BP dan General Electric lebih besar daripada kebanyakan negara-negara kecil; dan Wal-Mart, pengecer supermarket Amerika Serikat, memiliki penghasilan yang lebih besar daripada negara-negara Eropa Timur dan Tengah termasuk Polandia, Republik Ceko, Ukraina, Hungaria, Rumania dan Slovakia. Karena itu barang-barang yang dikonsumsi manusia hampir berada dalam genggaman korporasi ini. Di tangan mereka-lah kehidupan dunia kini dipertaruhkan.


Kekuasaan korporasi yang sangat hegemoik dan monopolis ini tentu mengakibatkan sebuah tata dunia yang timpang. Tata dunia yang ditandai oleh ketidakadilan sosial dan makin merebaknya kemiskinan. Sebuah tata dunia yang menghasilkan jurang dan celah yang begitu lebar antara yang kaya dan yang miskin. Menurut Noreena, globalisasi neoliberal ini jelas lebih banyak menghasilkan ‘mereka yang kalah’ dibandingkan dengan mereka yang menang. Kesaksian Noreena atas kemiskinan dan ketimpangan yang juga terjadi di Amerika dan Inggris menjadi bukti bahwa neoliberalisme memang ancaman besar bagi dunia.


Korporasi multinasional ini tiba-tiba berkembang menjadi finance oligarchy yang bersiap-siap untuk melucuti demokrasi dan keadilan sosial. Bahkan, tak segan-segan, untuk menegakkan prinsip-prinsip neoliberalisme, kekerasan juga dihalalkan dan rezim otoriter pun juga didukung asalkan menegakkan prinsip-prinip demokrasi pasar dan neoliberalisme, maka tentu juga akan tetap didukung. Yang penting, akumulasi modal dan penumpukan laba jalan terus.


Begitulah ceritanya. Di negara-negara yang dulunya dipimpin oleh rejim otoriter (seperti Indonesia, Argentina, Rusia, Korea Selatan atau Brazilia) neoliberalisme masuk ketika negara-negara itu mengalami krisis politik dan krisis ekonomi. Pada masa itulah melalui sejumlah agen-agen utamanya semisal IMF dan World Bank, agenda neoliberalisme mulai masuk dan membuat sejumlah penyesuaian struktural. Dan disambutlah sebuah jaman yang seringkali disebut-sebut dengan nada optimis yang meluap: transisi menuju demokrasi.


Tetapi, kita sebaiknya tidak menelan mentah-mentah sebuah doktrin bahwa setelah rejim otoriter runtuh, maka demokrasi akan menjelang, kesejahteraan dan keadilan pasti akan datang. Faktanya, ada kekuasaan lain yang jauh lebih imperalistik dan menindas. Sebuah kekuasaan korporasi yang senantiasa mengincar jalan yang sedang ditempuh oleh negara-negara yang mengalami masa transisi. Jadi, di negara-negara manapun perjalanan transisi bukan berjalan secara alami, netral dan bukan tidak ada kepentingan-kepentingan modal yang mengincar setiap ruas jalannya.

Transisi (tidak) Menuju Demokrasi


Salah satu buku babon yang seringkali dirujuk untuk mendalami transisi adalah karya Guillermo O’Donnel, Transisi Menuju Demokrasi, yang mengungkapkan beberapa kasus transisi demokrasi di Amerika Latin dan Eropa Selatan. Buku yang terdiri dari empat volume tersebut menjelaskan bahwa transisi demokrasi paling tidak dicirikan oleh suatu peralihan dari rejim otoritarian, baik yang berbentuk rejim otoriter birokratik, otoriter populis, maupun otoriter tradisionalis, menuju rejim yang lebih demokratis. Dalam karya itu, transisi yang ideal, menurut karya Guillermo O’Donnel, terletak pada pertama, model transisi politik yang berujung pada konsolidasi demokrasi, partisipasi politik, peranan partai politik yang kian meluas, adanya demiliterisasi dan liberalisasi ekonomi. Kedua, model transisi yang tidak diwarnai oleh sebuah kecenderungan revolusioner, yang berpotensi mengembalikan suatu negara ke rejim otoritarian. Ketiga, peranan faktor-faktor internasional yang seringkali mempromosikan demokrasi. Bagi O’Donnel, faktor-faktor internasional ini cenderung bernilai positif dalam pembangunan demokratisasi di sebuah negara.


Dalam konteks yang sama, maka definisi demokratisasi yang ideal bagi masa transisi ini digambarkan oleh Adam Przeworski sebagai sebuah mekanisme institusionalisasi (pelembagaan) dari konflik yang berkelanjutan dan pelembagaan demokrasi yang mencakup cita-cita partisipasi dari seluruh kelompok yang berbeda cita-cita, kepentingan dan bahkan ideologi sekalipun dan memastikan agar semua kelompok itu bertanding dan berkontestasi dalam ‘ring’ dan mekanisme demokrasi itu.

Dalam buku Malapetaka Demokrasi Pasar (Resistbook, 2005), Coen Husain Pontoh, dengan perspektif yang berbeda, mengatakan bagaimana kekuatan modal dan faktor internasional justru merupakan faktor dominan yang menyebabkan masa transisi berbelok arah. Tidak lagi transisi menuju demokrasi, melainkan transisi menuju neoliberalisme—atau yang disebutnya sebagai transition via internationalization. Sebuah model transisi yang dipandu oleh negara-negara maju melalui hutang luar negeri, sebuah gaya transisi yang juga disokong oleh lembaga keuangan internasional semacam IMF dan World Bank. Intinya adalah sebuah transisi yang mengajak sebuah bangsa untuk menuju neoliberalisme. Melalui pembedahan atas kasus Rusia dan Argentina, Coen hendak mengingatkan bahwa model transisi yang mengarah pada neoliberalisme pada dasarnya adalah sebuah perangkap yang justru akan memenjarakan demokrasi rakyat, mengabaikan hak-haknya dan lantas meluncurkannya pada jurang krisis yang tak kunjung usai.

Indonesia Tidak Merdeka

Di penghujung akhir tahun 2002, saat matahari senja merayap pulang, Sritua Arief menghembuskan nafas yang terakhir. Tak semua orang mengenal kisah hidup atau gagasannya. Ia bukan ilmuwan atau ekonom yang duduk di kursi kekuasaan, lalu berlagak selebriti. Nama besarnya ditempa dan diukir di kerasnya lapangan gerakan sosial. Sritua Arief bukan intelektual yang menyukai duduk di menara gading dunia akademis. Ia hidup di jalan rakyat. Sebab di matanya, rakyat, sang pemilik sah negeri ini, kerapkali dicurangi, ditindas dan dikhianati. Karena itu, ilmu ekonomi yang dimilikinya tak hendak dipakainya untuk mengakali dan membanditi rakyat. Ketika sebagian besar ekonom menyokong kekuasaan Orde Baru, Sritua justru bergerak ke ‘pinggir’. Di Semarang, misalnya, ia lebih suka untuk bergelut dan membangun pemukiman kaum kumuh (nelayan, buruh dan pemungut sampah), sembari menata sistem ekonomi mereka.

Sritua hendak menempatkan kembali rakyat sebagai subyek aktifitas ekonomi di negeri ini. Karena itulah gagasan ekonominya dijuluki sebagai ekonomi kerakyatan. Ia percaya bukan korporasi atau negara yang seharusnya menjadi penguasa dari praktek ekonomi, melainkan rakyat. Sayangnya, hingga kini rakyat menempati stratum terbawah dari struktur ekonomi-politik di negeri ini. Rakyat menjadi budak di negerinya sendiri. Mereka hidup bergantung di sektor pertanian, perdagangan kecil dan sektor informal, yang celakanya justru tidak menjadi bagian terpenting dalam kebijakan ekonomi di negeri ini. Dengan lugas, ia berseru: “ekonomi rakyat dalam bahaya”, tersisih dan terpinggir. Sritua lantas menata teorinya agar berpihak pada daulat rakyat.

Ketika Orde Baru berkuasa dan menganut jalan ekonomi neoklasik (neoliberal) yang digawangi oleh sekelompok ekonom yang berjuluk Mafia Berkeley, Sritua justru mengajukan gagasan strukturalis dan dependensia yang diperoleh inspirasinya dari kajian Bung Hatta atau tulisan Tan Malaka. Meski suaranya dilindas oleh kekuasaan, tetapi sebagian besar gagasannya justru menyala di kalangan anak muda dan para aktivis yang kelak berhasil menjungkalkan kekuasaan tiran Orde Baru. Seturut frasa Bjorn Hettne, Sritua adalah sosok intelektual yang berupaya memutus mata rantai imperialisme intelektual di Dunia Ketiga.

Gagasannya mulai bergema pada pada tahun 1980-an, ketika berkah dari ledakan minyak (oil boom) menjelang berakhir, dan Orde Baru mulai membuka pintu liberalisasi. Dari sinilah membanjirnya hutang luar negeri, investasi asing, dan anjuran-anjuran liberalisasi pasar dari World Bank dan IMF mulai dituai oleh Orde Baru. Jika sebagian besar ekonom liberal di negeri ini mengamini kebijakan Soeharto, tidak demikian dengan sang ekonom rakyat: Sritua Arief. Ia mencela liberalisasi ekonomi dan campur tangan World Bank dan IMF dalam menentukan kebijakan ekonomi di negeri ini. Bagi Sritua, jika liberalisasi dijalankan maka negeri ini akan kembali terperangkap dalam jerat neokolonialisme.

Modus neokolonialisme ekonomi ini dapat dirujuk melalui defisit pembiayaan yang dialami oleh Indonesia. Defisit ini terjadi karena adanya repatriasi keuntungan yang terjadi akibat investasi asing dan hutang luar negeri. Dua aspek inilah yang menyebabkan Indonesia merupakan replika dari negeri yang masih terjajah. Hutang luar negeri dianggap penjajahan gaya baru karena ia selalu melahirkan ketergantungan, dan kemiskinan akibat bunga hutang yang mencekik dan berbagai akibat sampingannya seperti: program penyesuaian struktural dan penyelewengan rezim. Dan celakanya, di negeri ini hutang luar negeri justru dipakai untuk menyantuni kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh konglomerat besar, daripada untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Sementara investasi asing digolongkan sebagai imperialisme baru, karena dalam kata-katanya yang terkenal “Setiap US$1 investasi asing yang masuk diikuti dengan US$10,19 financial resources yang keluar. Sebab utama kenapa ini terjadi antara lain adalah tingginya komponen sumber-sumber keuangan di dalam negeri yang digunakan untuk membiayai investasi asing”.

Tak hanya karena jeratan hutang luar negeri dan investasi asing, Sritua juga menyebut bahwa bangsa ini sesungguhnya belum benar-benar merdeka. Ini terjadi karena struktur ekonomi-politik yang ada di negeri merupakan strukur ekonomi yang eksploitatif dan timpang. Struktur ini terbentuk dari strukturasi atas dua hal sekaligus: warisan kolonialisme Belanda dan watak kapitalisme di Indonesia. Menurut Sritua, watak kapitalisme di Indonesia adalah kapitalisme rampok, dimana kelas menengah pengusaha dan penguasanya mewarisi modus ekonomi kaum kolonial, yakni memburu rente ekonomi. Secara substansial Sritua Arief tidak melihat ada perubahan dalam struktur dan sifat interaksi ekonomi sejak jaman kolonial. Hanya aktornya saja yang berubah. Meski sudah merdeka secara politik sejak tahun 1945, model struktur dan sifat interaksi ekonomi tetap tak berubah, selalu meminggirkan kaum miskin dan rakyat kecil. Maka tak salah ketika ia menyebut bahwa keadaan negeri ini di saat ini adalah replika dari Indonesia yang masih terjajah pada jaman kolonial dulu.

Agar ekonomi rakyat bangkit, dan tak lagi dihisap oleh kapitalisme rampok, Sritua berulangkali mengulangi pesan Bung Karno dan Bung Hatta yang selalu meneriakkan perlunya mengoreksi kembali struktur ekonomi politik di dalam negeri yang timpang. Perjuangan Indonesia, seturut Soekarno dan Hatta, adalah perjuangan yang memiliki dua mata pisau sekaligus: keluar, untuk meruntuhkan imperialisme Belanda; ke dalam: untuk mengoreksi struktur sosial dan ekonomi yang timpang. Sayangnya, hanya misi pertama yang berhasil dilakukan. Sementara misi kedua gagal karena berulangkali diinterupsi oleh berbagai kejadian, seperti G30S dan tumbangnya Orde Lama. Hasrat untuk mengoreksi struktur sosial dan ekonomi yang timpang dan eksploitatif semakin suram ketika Orde Baru lahir. Orde Baru justru melanjutkan sistem ekonomi yang kapitalistik, yang menjiplak pola kolonialisme, dan dengan demikian semakin memperparah kesenjangan dan eksploitasi ekonomi rakyat. Gagasan ekonomi rakyat lalu tumbang dalam lipatan sejarah Orde Baru yang kapitalistik dan otoriter.

Untuk membebaskan ekonomi rakyat dari kuasa kapitalisme neoliberal, menurut Sritua, setidaknya dibutuhkan tiga macam pergerakan. Pertama, pergerakan untuk melakukan rekonstruksi struktur kekuasaan ekonomi-politik. Perjuangan semacam ini adalah perjuangan politik, dimana segenap rakyat dan kalangan kelas menengah progresif perlu untuk merebut kekuasaan politik dan mentransformasikan strukturnya menjadi struktur ekonomi-politik yang tak lagi menindas dan eksploitatif. Kedua, perjuangan untuk merubah sikap mental para pemegang kekuasaan yang baru tersebut untuk tetap berkomitmen pada perilaku anti imperialisme, anti feodalisme, anti KKN, dan menjunjung keadilan sosial. Ketiga, perjuangan untuk merubah sikap mental rakyat agar tidak mau lagi membebek pada kekuasaan. Merubah sikap mental rakyat, agar berani mendobrak struktur-struktur sosial yang menghalangi kemajuan ekonomi mereka. Dengan model perjuangan semacam ini, Sritua yakin jika ekonomi rakyat takkan lagi menjadi paria, dan yang terpenting lagi, juga akan menghindarkan bangsa ini untuk kembali menjadi bangsa kuli (natie van coolie), bangsa miskin yang selalu terjajah.

Sudah hampir empat tahun Sritua Arief meninggalkan kita. Analisisnya tentang masa depan ekonomi di negeri ini, sebagian besar menemukan relevansinya. Hutang luar negeri yang kian menumpuk dan membebani bangsa ini; investasi asing dan konglomerasi juga menimbulkan kensenjangan dan kerusakan ekologis yang susah dipulihkan; nasib ekonomi rakyat yang diperankan oleh para petani, buruh, dan pedagang kaki lima, kian terhimpit dan terlindas oleh ganasnya pembangunan mall-mall megah. Karena itu, karya-karyanya masih layak untuk dibaca. Tulisan-tulisannya yang bernas dan gemilang adalah senjata ideologis yang revolusioner bagi rakyat jelata serta aktivis pergerakan untuk menolak sistem ekonomi-politik yang telah berpuluh-puluh tahun menindasnya.

Mereka Lahir Dari Rahim Pergerakan Rakyat

Awal
Ramalan Francis Fukuyama terbukti tak benar. Ketika Tembok Berlin runtuh pada 9 November 1989, Fukuyama, secara agak sembrono, meramalkan bahwa dunia akan memasuki segara memasuki fase “akhir sejarah” [the end of history]: kemenangan kapitalisme [neoliberal] dan demokrasi [liberal]. Apa yang dimaksud dengan “akhir sejarah” oleh Fukuyama bukan berarti dunia kehilangan peristiwa-peristiwa besar dan penting, melainkan bahwa sejarah berjalan secara tunggal, koheren, dan evolusioner. Bagi Fukuyama, masyarakat liberal demokratis yang didasarkan atas kapitalisme pasar-bebas, pada akhirnya akan mampu memenuhi kebutuhan manusia dalam hal stabilitas ekonomi, penghargaan terhadap diri sendiri, dan kehormatan.

Gelombang Perlawanan terhadap Globalisasi Neoliberal


Serangan pertama yang mematahkan tesis Fukuyama datang dari hutan raya Lacandona, di Chiapas, negara bagian yang paling tenggara Meksiko. Bukan oleh kaum akademisi dan intelektual, melainkan oleh sekelompok masyarakat adat dan petani bersenjata, yang menutupi mukanya dengan balaklava, dan yang menamakan diri dan pergerakannya sebagai Tentara Pembebasan Nasional Zapatista atau EZLN [Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional] pada 1 Januari 1994. Dipimpin oleh Subcomandante Marcos, gerakan yang ‘hanya’ berintikan 3.000 orang bertopeng hitam, dan kebanyakan berasal dari suku Indian Maya ini, menyerbu pusat kota San Cristobal de la Casas, dan mengumumkan Deklarasi Perangnya sebagai perlawanan terhadap diberlakukannya pakta pasar bebas, yaitu tergabungnya Meksiko di NAFTA. Bagi petani dan masyarakat adat ini, NAFTA adalah lonceng kematian. Meskipun tinggal di sebuah negeri yang kaya sumberdaya alamnya, masyarakat adat Indian dan petani, terus mengalami ketidakadilan dan ketimpangan yang tajam.

Setelah ‘meninggalkan’ fase perjuangan militer, EZLN lalu mengganti pola perjuangannya dengan senjata lain yang tak kalah mematikan: kata-kata. Jadi, kata menggantikan senjata. “Kata adalah senjata”. Sejak saat itulah, Subcomandante Marcos menggebrak dunia politik lewat kata-katanya yang tajam, dan prosa-prosa yang mengagumkan. Tulisan-tulisannya ‘membakar’ dan ‘menghasut’ pembacanya agar memahami cengkeraman dan jeratan neoliberalisme di Meksiko. Tak hanya bernada agitasi dan provokasi, tulisan Marcos juga menggabungkan antara kemahiran sastra tingkat tinggi dengan analisa ekonomi-politik yang tajam.

Salah satu hal yang paling subtansial, yang menantang langsung pendirian Fukuyama, adalah bahwa Zapatista mengangankan visi altermundialista, yaitu dunia lain di luar globalisasi neoliberal. Sebuah dunia yang dipandu atas penghargaan terhadap demokrasi, kebebasan dan keadilan rakyat yang sejati. Bukan demokrasi, kebebasan, dan keadilan rakyat yang berada dalam definisi dan cangkang kekuasaan kapitalisme. Bahkan, lebih lugas, Zapatista menyebut visinya berdasar pada nilai-nilai sosialisme yang telah lama hidup dan tumbuh di kalangan masyarakat Indian Maya.

Setelah gelombang pertama agak surut, ketidakpercayaan terhadap kapitalisme pasar bebas, lahir dari Brazil, negeri para pesepakbola. Disokong oleh Partido Trabahaldores (Partai Buruh Brazil), sejak Oktober 2002, Lula da Silva tampil menjadi Presiden Brazil menggantikan Fernando Cardoso, seorang pakar teori ketergantungan yang lalu ‘murtad’ dan beralih keyakinan pada prinsip-prinsip neoliberal. Lula mulanya adalah juga ketua PT tersebut. PT menjadi sebuah partai besar karena berhasil mengakomodasi gerakan buruh, petani, intelektual kota, dan bahkan kalangan rohaniawan. Tetapi, dukungan terhadap PT yang paling kuat dan radikal datang dari MST [Movimento dos Trabahaldores Rurais Sem Terra] atau Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah. Didirikan pada tahun 1984, MST merupakan organisasi kalangan pekerja dan buruh tani yang paling aktif berjuang untuk reforma agraria, redistribusi tanah dan pertanian rakyat. Gerakan ini, pada dasarnya muncul sebagai hasil dari distribusi tanah yang sangat timpang, yang merupakan warisan dari kolonialisme bangsa Portugis. MST tampil menjadi sebuah gerakan yang kuat dengan partisipasi rakyat yang sedemikian tinggi dan terus meningkat. Ketika partsipasi rakyat makin meninggi, dan tuntutan akan perubahan sosial-politik dalam skala yag luas diperlukan, maka MST mulai menjalin koalisi dengan PT yang kelak mengantarkan Lula da Silva ke kursi kekuasaan. Ringkasnya, kemenangan Lula dan menguatnya kepercayaan politik rakyat Brazil pada MST dan PT, secara bagus dilukiskan oleh Wendi Wolford, sebagai kemenangan gerakan sosial yang sedang “berjuang untuk mewujudkan komunitas yang didambakan”.

Tampilnya Lula da Silva sebenarnya didahului oleh naiknya Hugo Chavez, pada pemilu Venezuela tahun 1998. Awalnya, Chavez mencoba melakukan sebuah kudeta yang gagal di tahun 1992. Namun kegagalan itu, meski ia lalu merasakan lantai dingin penjara, membuatnya meraih popularitas dari kalangan kaum miskin di seantero Venezuela. Kudeta itu merupakan kegeraman Chavez dan kawan-kawannya, atas kebijakan-kebijakan neoliberal Presiden Carlos Andres Peres yang menaikkan harga BBM, dan membuat rakyat di negeri yang kaya minyak itu tenggelam dalam kemiskinan absolut, bahkan kematian massal.

Dari balik jeruji penjara, Chavez mendirikan Gerakan Republik Kelima, yang juga merupakan persatuan front dari berbagai gerakan sosial di Venezuela. Setelah berhasil meraih kekuasaan lewat pemilu, Chavez menggeret politik Venezuela ke arah yang lebih kiri dan populistik. Gagasan pembaharuan dan perubahan sosialnya diberi nama Revolusi Bolivarian, dan diorganisir oleh Lingkaran Bolivarian, yang diancangkan sebagai alternatif untuk mengganti kapitalisme pasar bebas. Daripada bergabung dengan FTAA, misalnya, ia malah mendirikan ALBA [Alternatif Bolivarian untuk Rakyat America Latin] yang berdasar pada prinsip-prinsip keadilan rakyat. Tetapi, apa yang paling menentukan adalah upayanya untuk memperkuat posisi perusahaan minyak (PDVSA) milik negara dan meningkatkan daya tawarnya dengan meminta kenaikan royalti yang besar pada sejumlah perusahaan swasta. Tindakan ini, tak ayal, membuat Chavez memiliki kekayaan yang berlimpah dari hasil minyak yang dipakainya untuk membiayai berbagai kebijakan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan gratis bagi penduduk yang paling miskin. Tak hanya itu, sebuah program reforma agraria yang meredistribusi tanah bagi kaum miskin juga dilakukan (sebagaimana Brazil, sebagian besar tanah di Venezuela juga dimiliki oleh segelintir oligarkh). Chavez kini menggembar-gemborkan gagasannya dengan sebutan sosialisme abad 21.

Nama lain yang muncul setelah Chavez adalah Evo Morales, nama lengkapnya Juan vo Morales Ayma, seorang suku Indian pertama yang menduduki kursi kepresidenan di Bolivia. Sebagaimana Chavez dan Lula, Evo Morales juga lahir dari rahim pergerakan rakyat. Partainya, MAS (Gerakan Menuju Sosialisme), merupakan sebuah partai front dan aliansi yang longgar dari berbagai gerakan sosial di Bolivia yang memiliki platform lebar dari penghapusan kebijakan neoliberal; partisipasi politik bangsa-bangsa pribumi yang lebih besar dalam politik nasional; nasionalisasi industri migas; legalisasi penanaman daun koka; serta pembagian yang adil terhadap sumber daya alam nasional. Menariknya, Evo Morales sendiri bukan aktivis kacangan, ia pernah menjadi anggota gerilyawan bersenjata Tupac Katari, yang kelak membuatnya mendekam di penjara selama lima tahun. Setelah pemenjaraan itu, Morales tampil sebagai pembela hak-hak kaum pribumi yang paling kukuh, juga menjadi ‘penyerang’ garis depan dalam menentang kebijakan neoliberal di Bolivia.

Seperi halnya Chavez, usai meraih kursi kekuasaan Evo Morales memotong gajinya dan pejabat publik lainnya, untuk diberikan kepada rakyat. Tak hanya itu, gebrakan besar Morales adalah menasionalisasi ladang gas alamnya. Ia juga menaikkan royalti gas alamnya menjadi lebih dari 50%, yang lantas digunakannya untuk pelbagai kebijakan-kebijakan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan gratis. Selain itu, untuk mempertahankan kehidupan para petani Indian yang menanam koka, ia kembali melegalisasikan penanaman koka yang sebelumnya dilarang oleh AS. Ada dua alasan kenapa pemerintah AS melarang penanaman koka: pertama, sebagai tindakan proteksi bagi perusahaan transnasional AS, Coca Cola, yang juga menggunakan daun koka. Kedua, sebagai upaya penolakan terhadap program USAID yang berencana menggantikan tanaman koka milik petani Indian di pegunungan Andes dengan tanaman kacang macademia dan lada. Hal lain yang membuat Evo Morales juga termasuk dalam klan “Presiden Radikal” adalah usahanya untuk melakukan land reform yang radikal.

Segera setelahnya, beberapa kenaikan Presiden yang berideologi kiri menjadi fenomena umum di sejumlah negara Amerika Latin. Di Chili misalnya, Michel Bachelet seorang presiden dari aliansi partai sosialis dan kiri-tengah, kini berkuasa di negeri yang pernah dipimpin oleh diktator ‘murid’ Soeharto itu: Augusto Pinochet. Di Nikaragua, pemimpin gerilyawan Sandinista yang berhaluan kiri, Daniel Ortega juga tampil di kursi kekuasaan setelah sejak tahun 1990-an terus-menerus mengalami kekalahan oleh kandidat partai pro neoliberal. Nama yang lain adalah Ollanta Humala dari Peru, yang merupakan pemberontak yang melawan rezim neoliberal Peru, Alberto Fujimori. Humala juga merupakan karib dan bersahabat dekat dengan Hugo Chavez. Jika kita tambahkan dua nama lagi: Fidel Castro dari Kuba dan Mahmoud Ahmadinejad dari Iran, maka tampaklah bahwa tesis akhir-sejarah Fukuyama telah gugur.

Fidel Castro bukan hanya lahir karena pergerakan rakyat, bersama Che Guevara, ia memimpin sebuah revolusi rakyat yang menggulingkan diktator militer Batista. El-Comandante Castro malah sejak dulu tetap mengukuhi sosialisme sebagai jalan hidup di negerinya. Meski mendapat embargo ekonomi dari AS, dan beberapa kali diancam pembunuhan, rakyat Kuba tetap mengagumi dan membelanya. Di tangan Castro, Kuba menjelma menjadi negara yang begitu memperhatikan hak-hak dasar rakyatnya. Di bidang pendidikan, misalnya, angka melek huruf merupakan yang terendah di dunia. Di negeri cerutu itu, segala level pendidikan, termasuk universitas, digratiskan. Tak sebagaimana di negeri ini, dimana pendidikan hanya menjadi sarana mobilisasi vertikal, di Kuba pendidikan bermakna horisontal yakni dengan bertujuan memupuk dan mengembangkan solidaritas antar sesama, penghargaan terhadap alam-lingkungan dan kemandirian. Hal ini diatur oleh sebuah sistem yang membuat para guru-murid-orang tua murid untuk tidak saja senantiasa berkomunikasi secara personal, tetapi juga bertanggung jawab terhadap pendidikan, dan bahkan terhadap segala permasalahan yang muncul di lingkungan sekitarnya. Bahkan hingga hari ini, terdapat sebuah program pendidikan dengan slogan yang cukup menarik “A Nation Becomes University”—dimana negara beserta lembaga pendidikan tinggi beserta para profesor dan sejumlah guru besarnya mengadakan pengajaran pendidikan tinggi via televisi. Jadi jangan heran, kalau kelak orang Kuba berstatus sarjana semua!!. Jangan heran pula, kalau televisi di Kuba mengajarkan sejarah filsafat atau ilmu sosial dengan dipandu oleh seorang profesor!! Di bidang kesehatan, Kuba juga menorehkan prestasi yang cemerlang. Jumlah tenaga dokter di Kuba merupakan yang terbanyak dari negara manapun di dunia. Hingga kini, Kuba menawarkan beasiswa pendidikan kesehatan yang gratis kepada negara-negara miskin. Tak hanya berorientasi pemupukan kekayaan, program pendidikan kesehatan di Kuba juga menekankan pemahaman tentang ilmu-ilmu sosial-humaniora dan misi pelayanan terhadap kemanusiaan.

Sedangkan Presiden Iran, Ahmadinejad juga lahir dari rahim pergerakan rakyat. Ia menjadi pengikut setia Ayatullah Khameini yang berusaha menggulingkan pemerintahan Syah yang kapitalistik dan feodalistik. Dengan berpola hidup yang sangat sederhana, Ahmadinejad tak hanya selalu merupakan oposisi terkemuka terhadap imperialisme Amerika Serikat, tetapi juga melakukan program-program sosial seperti pendidikan gratis dan perumahan untuk rakyat miskin. Dengan nilai-nilai Islam (syi’ah) yang berwatak populistik, Ahmadinejad tampil melawan ketidakadilan yang diciptakan oleh pasar bebas dan empire Amerika Serikat.

Tampaklah kini, tak semua orang di segenap penjuru dunia hidup nyaman di bawah kapitalisme neoliberal!

Selain menggugurkan tesis Fukuyama, berbagai fenomena di atas, setidaknya menunjukkan beberapa pelajaran: Pertama, para pemimpin ini lahir dari rahim pergerakan rakyat. Mereka tidak lahir dari proses demokrasi liberal yang alami, melainkan merintisnya dari jalur gerakan sosial. Mereka bukan presiden dan pemimpin yang memperoleh popularitasnya karena bantuan sms, polling atau pun karena pandai menyanyi atau sedikit ganteng. Mereka juga bukan presiden yang lahir dari partai penguasa, juga bukan lahir dari pengusaha penetek kekuasaan, bukan pula intelektual yang rajin mengobral teori atau agamawan yang selalu berbicara ihwal moral. Berbekal ideologi populis dan kerakyatan, dan pengetahuan yang baik tentang cengkeraman kapitalisme di negerinya, para Presiden Radikal ini terlebih dahulu adalah orang-orang yang menggeluti penderitaan rakyat di masa mudanya. Lula adalah mantan aktivis buruh pabrik, Morales mantan gerilyawan pejuang masyarakat adat, sedangkan Chavez adalah militer berpangkat rendah yang nasionalistik dan dekat dengan aktivis gerakan sosial. Jadi, proses menjadi pemimpin betul-betul ditempa karena pergerakan dan ‘pergaulannya’ dengan rakyat tertindas.

Kedua, kemenangan para presiden ini pada dasarnya adalah suatu bentuk perlawanan terhadap kapitalisme neoliberal dan demokrasi liberal. Di Amerika Latin, menurut James Petras, neoliberalisme pada dasarnya telah mengalami krisis sistemik yang matang dan mendalam. Ia gagal dalam menjawab janji tentang kemakmuran rakyat, malahan kemiskinan dan ketidakadilan yang semakin terasa. Sementara di sisi lain, para politisi dan kaum oligarkh hidup terasing dari rakyat, dan menikmati privilise yang semakin membuat rakyat muak. Sementara di sisi lain, penggusuran terhadap rakyat miskin, dicabutnya subsidi sosial, dan berbagai kebijakan neoliberal semakin membuat kaum miskin hidup dalam kemelaratan absolut. Hal ini semakin parah karena segregasi sosial yang diciptakan oleh kapitalisme neoliberal berada di sepanjang garis ras. Kemuakan ini mendapatkan saluran politisnya setelah para presiden itu menawarkan suatu visi alternatif yang kongkret atas kapitalisme neoliberal. Dalam beberapa hal, perlawanan terhadap kapitalisme neoliberal ini juga dibahasakan dengan perlawanan terhadap empire Amerika Serikat.

Ketiga, kemenangan para presiden radikal ini, merupakan sokongan dari aliansi dan konvergensi dari beberapa gerakan sosial yang cukup beragam. Mereka mencerminkan apa yang disebut sebagai Alan Touraine sebagai gerakan sosial baru, yaitu konvegensi dari gerakan masyarakat sipil seperti organisasi buruh, petani tak bertanah, gerakan masyarakat adat, gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa, intelektual kota, gerakan keagamaan hingga partai politik dari beragam garis ideologi, dari kiri leninis, hingga kiri tengah dan sos-dem. Seperti disebut di atas, apa yang menyatukan gerakan-gerakan ini adalah perlawanan terhadap kapitalisme neoliberal, dan perjuangan untuk “demokrasi politik yang radikal”. Gerakan sosial baru ini dicirikan oleh pluralitas subyek yang kian beragam, dimana perannya tak secara dominan dimainkan oleh gerakan buruh, tetapi juga oleh gerakan-gerakan lain yang berdiri secara otonom, tidak etrsubordinasi oleh gerakan buruh. Gerakan-gerakan ini terus-menerus belajar melakukan aliansi dan kerjasama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar