Bagian Pertama :
Dasar Keberadaan Sistem Ekonomi Feodal di Pedesaan
Monopoli Penguasaan Tanah
Dalam sistem ekonomi feodalisme, alat produksi utama sebagai dasar ekonomi masyarakat adalah tanah. Masyarakat memenuhi kebutuhannya secara pokok dari hasil mengolah tanah. Namun demikian, sebagian besar tanah dikuasai oleh para tuan tanah yang merupakan minoritas dalam populasi. Sementara sebagian besar petani menguasai tanah yang kecil-kecil untuk dikerjakan oleh tenaganya sendiri. Selain menggarap lahannya sendiri yang kecil dan terbatas (bahkan banyak di antara mereka yang sama sekali tidak menguasai atau memiliki tanah untuk dikerjakan), mereka harus menggarap lahan tuan tanah yang jauh lebih luas untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Karena itu para petani mau tidak mau terlibat dalam hubungan produksi feodal seperti pembayaran sewa tanah berupa surplus produk (produk lebih) dan penyerahan tenaga kerja tanpa dibayar.
Dalam sejarah Indonesia, monopoli penguasaan tanah telah berlangsung selama ratusan tahun semenjak masa perbudakan di mana tanah-tanah secara absolut dikuasai oleh para pemilik budak yang mengangkat dirinya sendiri sebagai raja. Dalam perkembangannya, tuan feodal yang berasal dari para pemilik budak semakin mengukuhkan dominasi mereka dalam penguasaan tanah dan memaksa kaum tani membayar sewa tanah dalam bentuk hasil pertanian yang masih ditambah dengan penyerahan kerja wajib tanpa dibayar. Kedatangan kolonialisme asing terutama Belanda tidak merubah secara signifikan keadaan tersebut sekalipun dalam batas-batas tertentu mereka memperkenalkan unsur sistem ekonomi kapitalisme seperti ekonomi uang, kerja pengupahan dan orientasi pasar dalam produksi. Monopoli tanah tetap saja berlangsung, sewa tanah tetap diberlakukan, dan penyerahan tenaga kerja wajib juga tetap berlaku. Bahkan dengan dibukanya perkebunan-perkebunan besar, maka monopoli penguasaan tanah juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar asing melalui pemberian hak sewa jangka panjang (erpacht). Paska Revolusi 17 Agustus 1945 sampai sekarang, monopoli penguasaan tanah juga belum terkoreksi secara berarti mengingat belum pernah dijalankkanya land reform sejati.
Dasar Ekonomi Mencukupi Kebutuhan Sendiri
Dalam sistem feodalisme, produksi dilakukan oleh kaum tani dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan membayar sewa tanah terhadap tuan tanah yang menguasai tanah di mana dia bekerja. Kerja produksi yang dilakukan mempunyai nilai guna. Kelebihan dari hasil produksi yang telah dikonsumsi oleh keluarga atau untuk membayar sewa tanah, baru dijual ke pasar untuk mendapatkan barang kebutuhan yang tidak dapat diproduksi sendiri. Para tuan tanah akan mendapatkan bagian yang besar dari pembayaran sewa tanah hasil produk lebih (surplus product) yang dibayarkan oleh kaum tani. Di samping kaum tani, terdapat juga para perajin yang memproduksi barang konsumsi untuk dijual ke pasar, namun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dia juga berproduksi di tanah. Dan bagi kaum perajin yang tinggal di kota atau pusat perputaran barang produksi masih menggantungkan kebutuhan hidupnya terutama bahan pangan dari pedesaan.Komunitas masyarakat dalam sistem ini bersifat mandiri secara relatif. Karena sebagian besar masyarakat berproduksi secara independen dengan teknologi produksi yang terbelakang dan dihisap oleh segilintir elemen dalam masyarakat yaitu kelas tuan tanah.
Produksi dalam Skala Kecil dan Mandiri
Petani bergantung pada alat kerja sederhana yang dikembangkan untuk berproduksi secara sendiri-sendiri, karena mereka berproduksi terpisah satu sama lain dalam petak-petak tanah. Dengan penguasaan tanah yang terbatas dan kecil-kecil, maka produksinya kecil dan terbatas. Perkembangan teknologi alat kerja tidak bisa berkembang pesat, sehingga sangat terbelakang. Tuan tanah yang menguasai tanah secara monopoli hanya berkepentingan untuk mendapatkan produk lebih dari tanah-tanah yang digarap oleh kaum tani sehingga tidak pernah memikirkan bagaimana pengembangan produksi melalui peningkatan teknik pertanian.
Bagian Kedua :
Setengah Feodal atau Semifeodal
Hubungan produksi kapitalistis muncul di dalam sistem feodalisme, akan tetapi hubungan produksi feodal masih bersisa secara meluas di pedesaan. Sistem feodalisme telah didisintegrasikan namun sistem kapitalisme tidak dapat mendominasi secara komplet. Dasar-dasar sistem ekonomi feodal mulai digoncangkan terutama menyangkut diperkenalkannya ekonomi uang dan orientasi produksi untuk pasar . Maksud dari hubungan produksi kapitalis adalah bagaimana kapital berefek pada hubungan produksi, tetapi tetap ada hubungan penindasan antara tuan tanah dengan petani. Dalam setengah feodal, ekonomi mencukupi kebutuhan sendiri (nilai guna) tidak terlalu mendominasi atau bahkan telah dihapuskan. Produk pertanian dari petani diperjualbelikan di pasar. Kaum tani tidak hanya menanam tanaman pangan untuk kebutuhan subsisten mereka tetapi juga tanaman komoditi untuk memenuhi kepentingan pasar baik pasar dalam negeri maupun pasar dunia. Pengembangan kapitalis tidak bisa secara utuh, karena sisa-sisa feodalisme yang terbelakang masih mencengkeram dengan kuat terutama di pedesaan. Dalam sistem ini buruh tani/perkebunan/maritim (proletariat desa) dan semi-proletariat juga muncul untuk “menjual tenaganya sebagai kerja produksi yang sekunder”. Klas parasit di pedesaan seperti tengkulak muncul sebagai akibat pergeseran orientasi produksi untuk pasar di mana para tengkulak yang seringkali juga merangkap sebagai rentenir, mendominasi rantai distribusi atau pemasaran. Mereka memiliki kekuasaan untuk menentukan harga, membeli produk kaum tani dengan harga yang sangat murah dan mengeruk keuntungan berlipat dengan menjualnya kembali dengan harga sangat tinggi.
Sistem setengah feodal muncul akibat dominasi dari imperialisme dalam masyarakat feodal lama. Imperialisme tidak menghancurkan masyarakat feodal lama menjadi sistem kapitalisme. Karena imperialisme hanya membutuhkan bahan mentah yang melimpah, tenaga produksi yang murah dan luasnya pasar bagi produk mereka. Dalam sejarahnya, imperialisme justru menjadikan kekuatan ekonomi feodal lokal untuk menopang kepentingan mereka. Imperialisme menyadari sepenuhnya bahwa sistem ekonomi lama perlu dipertahankan dalam batas-batas menjamin kepentingan mereka. Ekonomi mencukupi kebutuhan sendiri diganti dengan ekonomi yang berbasis pada uang. Efeknya produk kerajinan lokal tidak bisa berkembang dan hancur karena harus bersaing dengan produk imperialis yang berteknologi tinggi, mudah dan murah yang diimpor dengan ekonomi berbasis uang untuk ditukar dengan produksi bahan mentah dan produk pertanian.
Dalam sistem ekonomi setengah feodal, memang telah diperkenalkan secara luas kerja upahan seperti misalnya buruh tani dan buruh perkebunan besar. Namun sistem kerja upahan yang marak di pedesaan tidak secara utuh mencerminkan hubungan kerja yang kapitalistik, tetapi lebih dekat dengan sistem ekonomi feodal. Hal ini disebabkan oleh penentuan upah yang tidak didasarkan pada pasar tenaga kerja (labour market), tetapi lebih banyak ditentukan oleh otoritas tuan tanah maupun tani kaya. Bahkan sering kita jumpai di mana para buruh tani bekerja dengan jam kerja yang tidak pasti, upah yang tidak menentu dan beban kerja tambahan yang seringkali tidak mendapatkan pembayaran (alias gratis). Tuan tanah dan tani kaya dapat melakukan hal ini karena kedudukan politik mereka yang sangat kuat sementara buruh tani dan tani miskin dalam keadaan yang sangat lemah secara politik. Dan hubungan kerja berlangsung secara perseorangan antara tuan tanah dan tani kaya dengan para buruh upahannya.
Di pedesaan kapital berwujud sebagai riba dan perdagangan produk pertanian atau bahan mentah. Di dalam setengah feodal tidak terdapat industri dasar (basic industry). Industri yang ada adalah manufaktur, perakitan, pengepakan yang berorientasi ekspor. Secara nasional industri sangat bergantung pada impor akan teknologi dan mesin produksi yang maju. Perdagangan didominasi oleh para borjuis besar komprador, dengan konsentrasi pada ekspor produk pertanian, bahan mentah, dan produk hasil manufaktur. Persoalan tanah (secara umum agraria) adalah masalah utama masyarakat sistem ini. Elemen kelas penguasa setengah feodal, yaitu tuan tanah dan sebagian tani kaya masih menggunakan cara berpikir feodal dalam mengakumulasi kekayaan. Kalau mereka mempunyai pendapatan yang berlebih digunakan untuk memiliki atau menguasai tanah yang lebih luas, karena kemampuan mereka berusaha di luar pertanian sangat kecil. Walaupun sebagian ada yang menanamkan saham pada sektor perdagangan untuk menjadi borjuasi besar komprador.
Bagian ketiga :
Sewa Tanah dan Berbagai Bentuk Penindasan Semifeodal
Imperialisme di Indonesia pernah melakukan liberalisasi tanah di tahun 1870 yang mengatur tentang kepemilikan partikelir. Namun hal tersebut tetap tidak merubah struktur sistem feodalisme di Indonesia karena tetap saja ada monopoli penguasaan dan pemilikan tanah yang mempertahankan masyarakat feodal lama dan hubungan penindasannya. Sewa tanah adalah bentuk dasar hubungan penindasan feodal. Apakah sewa tanah? Sewa tanah adalah beban yang harus dibayar oleh petani penggarap atau buruh tani kepada tuan tanah feodal yang menguasai tanah tersebut, karena para petani mendapat “izin” untuk menggarapnya. Bentuk pembayaran beban tersebut bisa berwujud uang atau barang. Tuan tanah feodal yang menentukan bentuk pembayarannya. Misalnya berwujud bagi hasil panen pertanian (di Jawa dikenal dengan sistem maro atau bagi paruh, mrapat atau 25:75, 25% bagian untuk petani dan 75% bagian untuk tuan tanah feodal), membayar pajak atas “hak” menggarapnya, membeli tahunan atas sebidang tanah (sebagai ungkapan penghalusan untuk persewaan tanah), dan lain-lain.
Untuk menaikkan sewa tanah, tuan tanah feodal memaksa petani untuk memikul biaya produksi pengolahan tanah (bibit, pupuk, pestisida, alat kerja pertanian). Di beberapa tempat karena mengakarnya sistem feodal lama, bahkan petani juga dibebani untuk memberikan pengabdian secara cuma-cuma kepada tuan tanah.Sewa tanah bukan merupakan profit atau laba yang didapat tuan tanah dari produksi pertanian. Karena di dalam produksi pertanian sistem feodalisme tanah bukan merupakan kapital, dan tuan tanah memperoleh sewa tanah dari produk lebih (surplus product) pertanian yang dikerjakan oleh petani secara cuma-cuma dan tanpa bekerja (petani yang bekerja mendapat hasil produksi, namun sebagian besar hasil panennya untuk tuan tanah feodal). Tuan tanah tidak perlu menanam modal dan berpartisipasi langsung dalam produksi namun akan mendapat bagian yang besar dalam produksi pertanian. Sewa tanah adalah pajak yang secara paksa ditetapkan oleh tuan tanah feodal karena monopoli penguasaan tanah tanpa kapital. Tanah berbeda dengan mesin produksi dalam sistem kapitalisme, karena mesin ketika dioperasikan oleh kelas proletar sanggup memproduksi barang yang menambah nilai baru dari kapital tersebut dan dan berkembang maju. Sedangkan tanah adalah sasaran kerja yang statis perkembangannya dan tidak akan bernilai baru walaupun telah dikerjakan oleh petani.
Perkembangan alat produksi dapat menambah keuntungan tanpa harus menurunkan upah buruh. Tapi dalam sewa tanah hanya dapat ditingkatkan melalui menurunkan produk yang dibutuhkan oleh petani atau menurunkan upah buruh tani. Misalnya: Hasil panen adalah 1000 kg beras, dengan bagi hasil 70:30. Akan tetapi tuan tanah membutuhkan 400 kg lagi untuk hasil panen selanjutnya. Maka dia akan potong jatah petani untuk panen sekarang dan panen yang akan datang. Sehingga sekali lagi sewa tanah bukan merupakan nilai produksi tanah. Tanah akan memiliki nilai bila memobilisasi tenaga produksi dalam pengembangannya (memaksa petani berkerja di sana). Atau dengan kata lain tanah akan bernilai bila ada kapital (dalam alat kerja) dan kerja yang dilakukan oleh petani dan buruh tani. Tuan tanah feodal memperluas penguasaan tanahnya melalui perampasan tanah (land grabbing) yang sebagian besar metodenya adalah kekerasan dan pemaksaan oleh alat kelasnya, yaitu mesin-mesin negara reaksioner. Karena adanya monopoli tanah, maka tanah menjadi terbatas dan menjadi komoditi di pasar. Monopoli tanah, sewa tanah, dan harga tanah menghambat produksi walaupun dalam masyarakat kapitalis.
Di dalam sistem setengah feodal terdapat pertanian atau perkebunan yang dikelola secara hubungan produksi feodal dan ada pula yang secara hubungan produksi kapitalis. Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan tipe sewa tanah. Perbedaannya adalah bila sewa tanah feodal berbasis pada hubungan poduksi feodal, bentuk utamanya adalah produk lebih dalam sistem feodalisme, dan diproduksi tanpa investasi. Sedangkan dalam sewa tanah kapitalis adalah berbasis hubungan produksi kapitalis, hanya sebagian dari nilai lebih dan kuantitasnya ditentukan oleh laba, dapat diekstraksi (diperoleh secara berlebihan melalui penghisapan) dari penggunaan kapital dalam produksi. Maka dalam sewa tanah kapitalis, produksi selalu dipaksa untuk ditingkatkan agar mereka dapat mengutip pajak yang tinggi dari petani atau buruh tani yang bekerja.
Bentuk lain penghisapan feodalisme adalah peribaan. Peribaan marak terjadi karena petani miskin, buruh tani dan golongan lain di pedesaan dipaksa untuk meminjam uang pada lintah darat untuk mencukupi biaya produksi pengolahan pertanian (beli pupuk, bibit, dan lain-lain) atau untuk mencukupi kebutuhan keluarganya karena dia tidak dapat memperoleh bagian hasil panen yang cukup. Di pedesaan sangat wajar bila seorang tuan tanah juga merupakan seorang lintah darat, karena dia adalah salah satu pihak yang memiliki kelebihan penghasilan dari produk lebih yang didapatnya melalui sewa tanah. Program perkreditan untuk biaya produksi pengolahan pertanian dari pemerintah reaksioner secara hakekat juga merupakan peribaan, karena negara ini menjadi alat dari kelas taun tanah dan borjuis besar komprador. Jaminan dari peminjam dalam peribaan dapat wujudnya bermacam-macam. Bagi tuan tanah yang juga seorang lintah darat ini digunakan sebagai cara untuk memperluas penguasaan tanah dan menancapkan kendali secara kuat terhadap petani. Apabila petani tidak sanggup membayar bunga pinjamannya dan pinjaman pokoknya, maka sepetak tanah sebagai jaminannya akan disita oleh tuan tanah. Atau bila si peminjam adalah buruh tani akan bekerja tanpa bayar atau dipotong bagian bagi hasilnya. Sehingga tuan tanah tidak hanya mendapat produk lebih saja, namun akan juga mendapat bagian dari peribaan yang dilakukannya. Petani yang terjerat hutang akan kesulitan mengembangkan produksi pertanian. Dan secara politik mereka berada di bawah kekuasaan tuan tanah feodal.
Bagian Keempat : Bentuk-Bentuk Lain Penghisapan Semi-Feodal di Pedesaan
Sistem Pengupahan a la Budak bagi Buruh Tani
Semenjak mayoritas populasi di desa mencari kerja karena tersingkir dalam berpartisipasi produksi di pertanian karena monopoli penguasaan tanah oleh kelas tuan tanah feodal, maka terjadi tenaga kerja lebih (surplus labour) dan jumlah petani yang menjual tenaganya semakin meningkat. Hanya sedikit dari mereka yang mempunyai pekerjaan tetap, selebihnya adalah musiman. Ini merajalela di daerah dahulunya lahan pertanian biasa yang dirubah menjadi perkebunan besar, pabrik, pemukiman atau daerah non-sektor pertanian lainnya. Dari situasi tenaga kerja lebih ini posisi tawar petani menjadi sangat rendah. Pendidikan yang sangat mahal dan sama sekali tidak mengarahkan pada pembebasan petani dari keterbelakangan teknologi pertanian, penyediaan sarana pelayanan masyarakat yang sangat parah (terutama tentang kesehatan, rekreasi umum, transportasi, dan lain-lain), semakin membuat kondisi pedesaan menjadi daerah terbelakang yang terus dihisap dan ditindas untuk kepentingan imperialisme dan kelas-kelas reaksioner dalam negeri.
Kondisi buruh tani (termasuk di dalamnya buruh perkebunan, peternakan besar, nelayan) sangat buruk. Upah yang mereka dapatkan jauh dari cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya, jam kerja yang tidak hanya menuruti kemauan tuan tanah feodal dan pemilik perkebunan besar, serta lingkungan kerja yang sangat buruk tanpa jaminan keselamatan kerja bagi mereka. Kebebasan berorganisasi pun sangat dibatasi, apalagi di Indonesia setiap gerakan yang mereka buat selalu disangkutkan oleh birokrat kepala batu desa (militer dan aparat sipil negara reaksioner) maupun tuan tanah dengan sepak terjang Barisan Tani Indonesia (organisasi massa tani militan, patriotik yang menjadi onderbouw Partai Komunis Indonesia saat mengalami masa kesalahan oportunisme “kiri” dan kanan di tahun 1960’an). Secara umum buruh tani masuk ke dalam kaum tani, karena mereka merupakan bagian kekuatan produksi yang masuk dalam hubungan produksi penindasan feodalisme.
Penindasan Tengkulak
Produk pertanian yang ada di pedesaan dibeli oleh para tengkulak untuk dipasarkan ke kota. Mereka membeli dengan harga yang mereka tentukan sendiri (dengan berbagai alasan, biaya transportasi, harga pasaran, dan lain-lain). Para petani terpaksa harus menjual produknya kepada mereka, karena akses yang rendah ke kota. Tengkulakisme merajalela pada pertanian kecil dan terpisah-pisah.Di samping itu para tengkulak juga meminjamkan benih, pupuk, pestisida atau alat kerja pertanian pada petani dengan bunga yang tinggi seperti sistem peribaan. Pada saat revolusi hijau dicanangkan merek adalah mitra dari pemerintahan reaksioner dan komprador kepentingan imperialisme di pedesaan. Mereka adalah mata rantai yang penting bagi tuan tanah, borjuis besar komprador, dan imperialisme, karena mereka jual alat produksi pengolahan pertanian dari imperialis dan juga membeli bahan mentah pertanian dari petani untuk menyediakan kebutuhan imperialis dan borjuis besar komprador. Sikap kita adalah menetralisasikan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar