“ Manusia selamanya harus menjadi subjek, karena itulah fitrah manusia yang sesungguhnya “
Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari pendidikan. Pendidikan adalah hal yang sangat vital dalam kehidupan manusia, pendidikan mendorong manusia manusia kearah perubahan yang lebih kualitatif dan lebih maju dari sebelumnya.Dari semenjak manusia pertama ada sejak saat itu pula pendidikan ada dan diperlukan. Adam belajar segala sesuatu dari tuhan yang langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.Adam sebagai manusia bebas mengetahui segalanya.fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku sejati atau subjek bukan penderita atau objek.Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang mengatasi dunia serta realitas yang menindas.Dunia dan realitas atau realitas yang ada di dunia ini bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya dan harusditerima sebagai suatu takdir yang tak terelakan. Manusia harus menggeluti dunia dengan sikap kritis dan penuh daya cipta. Hal itu berarti memerlukan sikap orientatif yang merupakan pengembamgan bahasa pikiran. Pembuntuan akal pekiran dangan menjadikan manusia sebagai obyek dalam dunia pendidikan hanya akan mematikan daya cipta.
Sistem pendidikan yang menjadikan manusia sebagai obyek diandaikan oleh Paulofreire dalam bukunya politik pendidikan seperti sebuah bank, dimana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar kelak ia dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi anak didk adalah obyek infestasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis yang lazimnya dikenal. Depositor atau Infestornya adalah para guru, sementara depositonya berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didikpun lantas dijadikan bejana kosongyang akan diisi. Jadi garu adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyak pasif yang penurut dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian realitas dunia yang diajarkan pada mereka.
Pada zaman prasejarah dahulu, manusia berpendidikan dan belajar dari alam. Ketika terjadi badai maka mereka mencoba membuat rumah atau dengan tinggal di goa-goa. Ketika mereka membutuhkan makanan maka mereka membuat alat-alat berburu untuk mendapatkannya. Suatu proses pendidikan tidak dapat dilepaskan dari realiatas dunia yang ada. Manusia dengan pendidikan mampu berpikir secara kritis dan pada akhirnya bertujuan menggarap dan merubah realitas dunia dan lingkungan manusia.
Namun pada zaman kejayaan Romawi dan Yunani pendidikan menjadi terlembagakan. Institusi sekolah yang berasal dari kata scholae (mengsi waktu luang ) mulai berdiri. Pendidikan menjadi mempunyai tempat yang khusus dan mulai mempunyai aturan yang mengikat yang malah membuntukan akal pikiran. Penerapan kurikulum seperti yang terjadi di negara kita mulai diterapkan dan pendidikan menjadi suatu hal yang terbatas.
Pendidikan yang pada hakikatnya adalah proses humanisasi yakni praktek penyadaran manusia akan realitas kemanusiaan serta dunianya. Pendidikan yang membuat manusia berani membicarakan masalah-masalah lingkungannya dan turun tangan dalam lingkungan tersebut. Pendidikan yang mampu memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman dam memberikan kepercayaan serta kekuatan untuk manghadapinya, bukan pendidikan yang menjadikan akal kita menyerah patuh pada keputusan-keputusan orang lain. Dengan mengajak manusia terus menerus melakukan penilaian kembali, menganalisis penemuan-penemuan, menggunakan metode dan proses ilmu pengetahuan serta meliaht diri sendiri dalam hubungan dialektis dengan realita sosial. Pendidikan ini akan menolong manusia untuk meningkatkan sikap kritis terhadap dunia dan dengan demikian mengubahnya(Pauo freire, pendidikan sebagai praktek pembebasan).
Pada akhirnya sebuah institusi pendidikan menurut Benjamin bloon harus membentuk tiga hal wilayah kepribadian manusia yaitu: membentuk watak dan sikap (affective domain), pengembangan ilmu pengatahuan (cognitive domain), dan melatih keterampilan (psiko motorik domain) yang terealisasikan di lingkungan masyarakat para subyeknya.Tidak dipungkiri institusi pendidikan di berbagai belahan dunia terutama negara dunia ketiga seolah tenggelam dalam arus rutinitas untuk mengejar selembar ijazah. Penyeragaman penerapan kurikulum yang tidak independent, proses transformasi yang tidak ilmiah, serta pengkondisian yang tidak demokratis jelas telah membuntukan akal pikiran manusia serta menghilangkan pikiran kritis terhap lingkungannya dan tidak menumbuhkan kesadaran tanggung jawab kemanusiaan.
Pendidikan di Indonesia
Apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh ( Yb.mangun wijaya ).
Kemenangan kaum borjuasi Belanda (sosial demokrat) terhadap kaum Aristokrat membawa dampak pada sistem ekonomi dan politik di daerah kolonial mereka yaitu Indonesia. Keberhasilan politik tanam paksa yang diterapkan Belanda mengakibatkan peluberan pada kas keuangan Belanda. Kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang dapat dipekerjakan memaksa Belanda merubah pola penindasan dan eksploitasinya dengan cara yang lebih halus. Akhirnya politik etis yang isinya adalah; Edukasi (pendidikan), Irigasi (pengairan), Transmigrasi (perpindahan penduduk) di terapkan di Indonesia. Pendidikan yang diberikan Belanda yang dengan maksud menciptakan tenaga-tenaga kerjapun tidak menyentuh keseluruh lapisan masyarakat, hanya golongan-golongan tertentu saja yang dapat menikmati pendidikan.
Pendidikan membawa dampak luar biasa bagi kehidupan bangsa Indonesia. Pendidikan yang tidak menyentuh seluruh masyarakat Indonesia menimbulkan kesadaran akan suatu ketertindasan sehingga memicu perlawanan pribumi yang menyeluruh dan terorganisir diseantero nusantara. Pendidikan membentuk jiwa-jiwa perlawanan pada diri Tjipto, Tan malaka, Semaun, Soekarno dan tokoh-tokoh lainnya. Pendidikan yang diharapkan Belanda membentuk para kaum-kaum pekerja, akhirnya menjadi “Boomerang” bagi mereka.
· Pendidikan zaman fasisme Jepang.
Kejayaan rezim fasis jepang pada perang dunia kedua dalam melawan negara-negara barat mendorong rezim tersebut untuk terus melebarkan wilayah jajahannya. Jepang datang ke Indonesia dengan alasan untuk kemerdekaan Indonesia dan membangun suatu kekuatan Ekonomi Politik bagi bangsa Asia. Penjajah belanda berhasil di usir jepang dari bumi pertiwi untuk sementara waktu. Jepang menjajah Indonesia dengan membawa tiga pedoman: Nippon cahaya Asia, Nippon pelindung Asia dan Nippon penerang Asia. Jepang membutuhkan suatu kekuatan massa yang terdidik dan terpimpin untuk melindungi asset-asset perekonomian yang ada di bawah kekuasaannya, atas dasar itulah maka Jepang membentuk PETA. Masyarakat Indonesia di doktrin lewat pendidikan untuk patuh di bawah kekuasaan Jepang. Pemuda-pemudi Indonesia di ajari bagaimana caranya mengangkat senjata dan berperang yang itu semua demi kepentingan Jepang.
· Pendidikan zaman kemerdekaan
“Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah”.
(Ki hajar dewantara)
Kalau dimasa kolonial pendidikan diarahkan kepada penciptaan korps pegawai rendahan untuk kepentingan pemerintah jajahan dan kepentingan niaga ekspor bahan mentah kenegeri induk, maka dimasa kemerdekaan ada kesulitan untuk menentukan arah pendidikan. Mula-mula arahnya dirumuskan sebagai penanaman semangat kemerdekaan atau atas kerugian kelas kerani (baca pendidikan sebagai praktak pembebasan).
Keadaan bangsa yang porak poranda setelah perang serta keadaan masyarakat yang tidak menyeluruh dapat menikmati pendidikan yang layak dimasa kolonial, maka dengan segera sistem pendidikan sekolah secara masif didirikan. Dengan tidak ditunjang dengan penyediaan korps guru yang berkualitas, keadaan masyarakat tetap tidak mengalami suatu perubahan yang berarti. Namun segera ternyata semangat kemerdekaan saja tidak akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi para lulusan sekolah khususnya dan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Satu hal yang dapat yang dapat kita ambil dari perkataan bapak pendidikan Indonesia kita “Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolahan” bahwa sangat bodoh jika kita menganggap pendidikan hanya pada sekolah saja, hanya terbatas pada kurikulum yang ditetapkan, tetapi mari kita belajar dari sesama dan realitas sosial yang ada. Masyarakat adalah buku kita dan alam adalah guru kita. Hakikat dari pendidikan adalah untuk mengatasi dunia serta realitas yang menindas manusia.
· Pendidikan zaman Orde baru sampai sekarang
“Aku diajari bahwa pemerintah harus kuat, pemerintah selalu benar dan tak pernah salah. Pemimpin kita adalah orang yang paling bijak dan lagi-lagi kita akan memilih mereka”.
Kebutuhan terhadap lapangan kerja bagi masyarakat mendorong pemerintah untuk melakukan kerja sama dengan negara-negara maju. Kebijakan pemerintah yang membuka kran bagi para Investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia berimbas pada sistem pendidikan yang ada. Pndidikan lalu dirumuskan sebagai yang melayani kebutuhan nasional. Melihat besarnya pengaruh pemerintah (negara) sebagai pemegang kekuasaan untuk menentukan arah pendidikan, memang sangat terkait dengan kondisi setempat. Sebagai negara berkembang Indonesia berada dalam posisi yang dilematis, disatu sisi harus mengikuti lajunya tehnologi modern sedang disisi lain keadaan massa rakyat yang sebagian besar berada dalam bidang pertanian. Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yanhg cenderung memaksa dan berpihak pada kepentingan Investor membawa dampak negatif. Masuknya tiga setan sejarah dalam pendidikan yakni feodalisme, militerisme dan kapitalisme jelas akan menciptakan kondisi masyarakat yang tidak kritis dan tidak produktif bahkan materialis dan individualis.
· Sistem pendidikan yang berwatak feodalistik.
“pada hakikatnya semua manusia adalah sama, tidak ada kelas-kelas sosial dalam masyarakat”.
Paulo friere mengingatkan, pendidikan harus berorintasi pada penampakan realitas obyetif dan pengenalan diri. Ini membutuhkan perpaduan subyektifitas dan obyaktifitas yang terjadi sehingga kata Paulo friere, pendidikan harus bersifat pembebasan. Bebas dari indroktinisasi. Guru adalah bisa dikatakan sebagai mediator dialog dalam memandang dan menganalisis realitas obyektif. Guru adalah tidak selamanya benar. Guru bisa dibantah sedang murid adalah bukan gelas kosong. Dalam kontek sistem pendidikan guru dan murid adalah saling belajar dan saling memanusiakan. Dalam proses ini guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan muridnya dan sebaliknya. Hubungan keduanyapun menjadi subyek dan obyeknya adalah realita yang dibahas dan di analisa bersama. Maka terciptalah suasana dialogis.
· Pendidikan yang berwatak militeristik.
“Saya tidak akan mempercayai pendidikan yang dirumuskan oleh penguasa yang menindas”.
Militer selalu identik dengan penyeragaman dan anti dialogis. Penyeragaman tidak semata pada kostum belaka, penyeragaman bahkan sampai pada bentuk pola pikir serta tindakan sehari-hari. Begitupun dalam hal pendidikan. Penerapan kurikulum yang sentralistis bahkan sampai pada penerapan kurikulum yang berunsur militer seperti kewiraan dan lain sebagainya. Penyelesaian suatu masalah yang cenderung memakai kekerasan dan anti dialogispun menular keanak-anak didiknya. Budaya-budaya tersebut jelas akan membuntukan kreatifitas anak didik. Posisi pendidikan seharusnya bebas dan mendahulukan kepentingan rakyat banyak terlebih dahulu serta harus sesuai dengan hakikatnya semula.
· Pendidikan yang berwatak kapitalistik.
Sekalah bagimu hanya sebuah gengsi, dapat banyak teman dan tentu banyak relasi.
Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan UU PMA (penanaman modal asing) no 1 tahun 67 berimbas banyak pada sisitem pendidikan nasional kita. Sistem pendidikan diarahkan kepada melayani kebutuhan pembangunan nasional. Menurut Abdurrahman wahid dalam pengantar buku paulo friere, pendidikan sebagai praktek pembebasan, Dua hal yang yang membuat sistem pendidikan dari sisitem perekonomian yang searah perjalanannya. Pertama, sempitnya ruang gerak sektor usaha dalam perekonomian membawa kepada tetap sedikitnya kesempatan kerja yang dapat diraih lulusan pendidikan yang ada. Kedua, kalaupun kesempatan kerja itu akhirnya diperoleh maka upahnya juga akan rendah. Semua itupun tidak akan memungkinkan munculnya arah pendidikan yang terlepas dari tema penyediaan kelas kerani di masa penjajahan. Mengapa ? karena seluruh perhatian lalu dipusatkan kepada pencapaian untuk menjadi sarjana dibeberapa bidang yang laku keras belaka, seperti ; Ekonomi, Kedokteran, Tehnik dan Bahasa. Pendidikan akhirnya menjadi sebuah pasar.
Konsep link and match (kesepadanan dan keselarasan) yang dicanangkan pemerintah beberapa waktu yang lalupun minimbulkan banyak permasalahan. Muncul kecenderungan terkonsentrasinya masyarakat untuk menempuh pendidikan eksakta dan mengabaikan ilmu sosial lainnya. Konsep inipun pada perkembangan dan prakteknya lebih kepada pemaksaan manusia untuk menjadi sekrup-sekrup industrialisasi yang diterapkan oleh negara-negara maju. Mahalnya pendidikan formal pada akhirnya membuat masyarakat Indonesia tidak mampu untuk menikmati pendidikan yang layak. Sedikitnya alokasi APBN yang diserap untuk sektor pendidikan belum mencerminkan pemerintah untuk memberdayakan masyarakat. Kepincangan struktur sosial, rakyat yang terbelenggu oleh kebodohan dan kemiskinan merupakan konsekuensi logis dari sistem yang ada. Sistem pendidikan formal akhirnya dijadikan ajang untuk mencari keuntungan yang merugikan siswa atau mahasiswanya. Kapitalisme Internasional adalah sumber dari kepincangan struktur masyarakat sedang kebisuan sektoral di masing-masing negeri adalah salah satu dari mata rantainya.
Perubahan demi perubahan dalam rumusan arah pendidikan itu tetap tidak membawa hasil yang diinginkan karna watak menciptakan kaum pekerja tidak pernah sepenuhnya hilang. Perubahan terhadap hal yang tidak substansial apalagi hanya pada bentuk fisiknya saja adalah satu hal yang sia-sia bahkan semakin menjauhkan dari hakikat pendidikan itu sendiri. Tinggal bagaimana kita kembali pada hakikat dari pendidikan tersebut. Marilah kita ciptakan kerumunan (diskusi) dimana-mana sebagai ajang proses belajar-mengajar (berpendidikan) . semua orang adalah guru dan alam raya adalah sekolahku. Kita mampu untuk merubah semuanya.
Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari pendidikan. Pendidikan adalah hal yang sangat vital dalam kehidupan manusia, pendidikan mendorong manusia manusia kearah perubahan yang lebih kualitatif dan lebih maju dari sebelumnya.Dari semenjak manusia pertama ada sejak saat itu pula pendidikan ada dan diperlukan. Adam belajar segala sesuatu dari tuhan yang langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.Adam sebagai manusia bebas mengetahui segalanya.fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku sejati atau subjek bukan penderita atau objek.Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang mengatasi dunia serta realitas yang menindas.Dunia dan realitas atau realitas yang ada di dunia ini bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya dan harusditerima sebagai suatu takdir yang tak terelakan. Manusia harus menggeluti dunia dengan sikap kritis dan penuh daya cipta. Hal itu berarti memerlukan sikap orientatif yang merupakan pengembamgan bahasa pikiran. Pembuntuan akal pekiran dangan menjadikan manusia sebagai obyek dalam dunia pendidikan hanya akan mematikan daya cipta.
Sistem pendidikan yang menjadikan manusia sebagai obyek diandaikan oleh Paulofreire dalam bukunya politik pendidikan seperti sebuah bank, dimana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar kelak ia dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi anak didk adalah obyek infestasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis yang lazimnya dikenal. Depositor atau Infestornya adalah para guru, sementara depositonya berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didikpun lantas dijadikan bejana kosongyang akan diisi. Jadi garu adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyak pasif yang penurut dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian realitas dunia yang diajarkan pada mereka.
Pada zaman prasejarah dahulu, manusia berpendidikan dan belajar dari alam. Ketika terjadi badai maka mereka mencoba membuat rumah atau dengan tinggal di goa-goa. Ketika mereka membutuhkan makanan maka mereka membuat alat-alat berburu untuk mendapatkannya. Suatu proses pendidikan tidak dapat dilepaskan dari realiatas dunia yang ada. Manusia dengan pendidikan mampu berpikir secara kritis dan pada akhirnya bertujuan menggarap dan merubah realitas dunia dan lingkungan manusia.
Namun pada zaman kejayaan Romawi dan Yunani pendidikan menjadi terlembagakan. Institusi sekolah yang berasal dari kata scholae (mengsi waktu luang ) mulai berdiri. Pendidikan menjadi mempunyai tempat yang khusus dan mulai mempunyai aturan yang mengikat yang malah membuntukan akal pikiran. Penerapan kurikulum seperti yang terjadi di negara kita mulai diterapkan dan pendidikan menjadi suatu hal yang terbatas.
Pendidikan yang pada hakikatnya adalah proses humanisasi yakni praktek penyadaran manusia akan realitas kemanusiaan serta dunianya. Pendidikan yang membuat manusia berani membicarakan masalah-masalah lingkungannya dan turun tangan dalam lingkungan tersebut. Pendidikan yang mampu memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman dam memberikan kepercayaan serta kekuatan untuk manghadapinya, bukan pendidikan yang menjadikan akal kita menyerah patuh pada keputusan-keputusan orang lain. Dengan mengajak manusia terus menerus melakukan penilaian kembali, menganalisis penemuan-penemuan, menggunakan metode dan proses ilmu pengetahuan serta meliaht diri sendiri dalam hubungan dialektis dengan realita sosial. Pendidikan ini akan menolong manusia untuk meningkatkan sikap kritis terhadap dunia dan dengan demikian mengubahnya(Pauo freire, pendidikan sebagai praktek pembebasan).
Pada akhirnya sebuah institusi pendidikan menurut Benjamin bloon harus membentuk tiga hal wilayah kepribadian manusia yaitu: membentuk watak dan sikap (affective domain), pengembangan ilmu pengatahuan (cognitive domain), dan melatih keterampilan (psiko motorik domain) yang terealisasikan di lingkungan masyarakat para subyeknya.Tidak dipungkiri institusi pendidikan di berbagai belahan dunia terutama negara dunia ketiga seolah tenggelam dalam arus rutinitas untuk mengejar selembar ijazah. Penyeragaman penerapan kurikulum yang tidak independent, proses transformasi yang tidak ilmiah, serta pengkondisian yang tidak demokratis jelas telah membuntukan akal pikiran manusia serta menghilangkan pikiran kritis terhap lingkungannya dan tidak menumbuhkan kesadaran tanggung jawab kemanusiaan.
Pendidikan di Indonesia
Apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh ( Yb.mangun wijaya ).
Kemenangan kaum borjuasi Belanda (sosial demokrat) terhadap kaum Aristokrat membawa dampak pada sistem ekonomi dan politik di daerah kolonial mereka yaitu Indonesia. Keberhasilan politik tanam paksa yang diterapkan Belanda mengakibatkan peluberan pada kas keuangan Belanda. Kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang dapat dipekerjakan memaksa Belanda merubah pola penindasan dan eksploitasinya dengan cara yang lebih halus. Akhirnya politik etis yang isinya adalah; Edukasi (pendidikan), Irigasi (pengairan), Transmigrasi (perpindahan penduduk) di terapkan di Indonesia. Pendidikan yang diberikan Belanda yang dengan maksud menciptakan tenaga-tenaga kerjapun tidak menyentuh keseluruh lapisan masyarakat, hanya golongan-golongan tertentu saja yang dapat menikmati pendidikan.
Pendidikan membawa dampak luar biasa bagi kehidupan bangsa Indonesia. Pendidikan yang tidak menyentuh seluruh masyarakat Indonesia menimbulkan kesadaran akan suatu ketertindasan sehingga memicu perlawanan pribumi yang menyeluruh dan terorganisir diseantero nusantara. Pendidikan membentuk jiwa-jiwa perlawanan pada diri Tjipto, Tan malaka, Semaun, Soekarno dan tokoh-tokoh lainnya. Pendidikan yang diharapkan Belanda membentuk para kaum-kaum pekerja, akhirnya menjadi “Boomerang” bagi mereka.
· Pendidikan zaman fasisme Jepang.
Kejayaan rezim fasis jepang pada perang dunia kedua dalam melawan negara-negara barat mendorong rezim tersebut untuk terus melebarkan wilayah jajahannya. Jepang datang ke Indonesia dengan alasan untuk kemerdekaan Indonesia dan membangun suatu kekuatan Ekonomi Politik bagi bangsa Asia. Penjajah belanda berhasil di usir jepang dari bumi pertiwi untuk sementara waktu. Jepang menjajah Indonesia dengan membawa tiga pedoman: Nippon cahaya Asia, Nippon pelindung Asia dan Nippon penerang Asia. Jepang membutuhkan suatu kekuatan massa yang terdidik dan terpimpin untuk melindungi asset-asset perekonomian yang ada di bawah kekuasaannya, atas dasar itulah maka Jepang membentuk PETA. Masyarakat Indonesia di doktrin lewat pendidikan untuk patuh di bawah kekuasaan Jepang. Pemuda-pemudi Indonesia di ajari bagaimana caranya mengangkat senjata dan berperang yang itu semua demi kepentingan Jepang.
· Pendidikan zaman kemerdekaan
“Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah”.
(Ki hajar dewantara)
Kalau dimasa kolonial pendidikan diarahkan kepada penciptaan korps pegawai rendahan untuk kepentingan pemerintah jajahan dan kepentingan niaga ekspor bahan mentah kenegeri induk, maka dimasa kemerdekaan ada kesulitan untuk menentukan arah pendidikan. Mula-mula arahnya dirumuskan sebagai penanaman semangat kemerdekaan atau atas kerugian kelas kerani (baca pendidikan sebagai praktak pembebasan).
Keadaan bangsa yang porak poranda setelah perang serta keadaan masyarakat yang tidak menyeluruh dapat menikmati pendidikan yang layak dimasa kolonial, maka dengan segera sistem pendidikan sekolah secara masif didirikan. Dengan tidak ditunjang dengan penyediaan korps guru yang berkualitas, keadaan masyarakat tetap tidak mengalami suatu perubahan yang berarti. Namun segera ternyata semangat kemerdekaan saja tidak akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi para lulusan sekolah khususnya dan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Satu hal yang dapat yang dapat kita ambil dari perkataan bapak pendidikan Indonesia kita “Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolahan” bahwa sangat bodoh jika kita menganggap pendidikan hanya pada sekolah saja, hanya terbatas pada kurikulum yang ditetapkan, tetapi mari kita belajar dari sesama dan realitas sosial yang ada. Masyarakat adalah buku kita dan alam adalah guru kita. Hakikat dari pendidikan adalah untuk mengatasi dunia serta realitas yang menindas manusia.
· Pendidikan zaman Orde baru sampai sekarang
“Aku diajari bahwa pemerintah harus kuat, pemerintah selalu benar dan tak pernah salah. Pemimpin kita adalah orang yang paling bijak dan lagi-lagi kita akan memilih mereka”.
Kebutuhan terhadap lapangan kerja bagi masyarakat mendorong pemerintah untuk melakukan kerja sama dengan negara-negara maju. Kebijakan pemerintah yang membuka kran bagi para Investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia berimbas pada sistem pendidikan yang ada. Pndidikan lalu dirumuskan sebagai yang melayani kebutuhan nasional. Melihat besarnya pengaruh pemerintah (negara) sebagai pemegang kekuasaan untuk menentukan arah pendidikan, memang sangat terkait dengan kondisi setempat. Sebagai negara berkembang Indonesia berada dalam posisi yang dilematis, disatu sisi harus mengikuti lajunya tehnologi modern sedang disisi lain keadaan massa rakyat yang sebagian besar berada dalam bidang pertanian. Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yanhg cenderung memaksa dan berpihak pada kepentingan Investor membawa dampak negatif. Masuknya tiga setan sejarah dalam pendidikan yakni feodalisme, militerisme dan kapitalisme jelas akan menciptakan kondisi masyarakat yang tidak kritis dan tidak produktif bahkan materialis dan individualis.
· Sistem pendidikan yang berwatak feodalistik.
“pada hakikatnya semua manusia adalah sama, tidak ada kelas-kelas sosial dalam masyarakat”.
Paulo friere mengingatkan, pendidikan harus berorintasi pada penampakan realitas obyetif dan pengenalan diri. Ini membutuhkan perpaduan subyektifitas dan obyaktifitas yang terjadi sehingga kata Paulo friere, pendidikan harus bersifat pembebasan. Bebas dari indroktinisasi. Guru adalah bisa dikatakan sebagai mediator dialog dalam memandang dan menganalisis realitas obyektif. Guru adalah tidak selamanya benar. Guru bisa dibantah sedang murid adalah bukan gelas kosong. Dalam kontek sistem pendidikan guru dan murid adalah saling belajar dan saling memanusiakan. Dalam proses ini guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan muridnya dan sebaliknya. Hubungan keduanyapun menjadi subyek dan obyeknya adalah realita yang dibahas dan di analisa bersama. Maka terciptalah suasana dialogis.
· Pendidikan yang berwatak militeristik.
“Saya tidak akan mempercayai pendidikan yang dirumuskan oleh penguasa yang menindas”.
Militer selalu identik dengan penyeragaman dan anti dialogis. Penyeragaman tidak semata pada kostum belaka, penyeragaman bahkan sampai pada bentuk pola pikir serta tindakan sehari-hari. Begitupun dalam hal pendidikan. Penerapan kurikulum yang sentralistis bahkan sampai pada penerapan kurikulum yang berunsur militer seperti kewiraan dan lain sebagainya. Penyelesaian suatu masalah yang cenderung memakai kekerasan dan anti dialogispun menular keanak-anak didiknya. Budaya-budaya tersebut jelas akan membuntukan kreatifitas anak didik. Posisi pendidikan seharusnya bebas dan mendahulukan kepentingan rakyat banyak terlebih dahulu serta harus sesuai dengan hakikatnya semula.
· Pendidikan yang berwatak kapitalistik.
Sekalah bagimu hanya sebuah gengsi, dapat banyak teman dan tentu banyak relasi.
Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan UU PMA (penanaman modal asing) no 1 tahun 67 berimbas banyak pada sisitem pendidikan nasional kita. Sistem pendidikan diarahkan kepada melayani kebutuhan pembangunan nasional. Menurut Abdurrahman wahid dalam pengantar buku paulo friere, pendidikan sebagai praktek pembebasan, Dua hal yang yang membuat sistem pendidikan dari sisitem perekonomian yang searah perjalanannya. Pertama, sempitnya ruang gerak sektor usaha dalam perekonomian membawa kepada tetap sedikitnya kesempatan kerja yang dapat diraih lulusan pendidikan yang ada. Kedua, kalaupun kesempatan kerja itu akhirnya diperoleh maka upahnya juga akan rendah. Semua itupun tidak akan memungkinkan munculnya arah pendidikan yang terlepas dari tema penyediaan kelas kerani di masa penjajahan. Mengapa ? karena seluruh perhatian lalu dipusatkan kepada pencapaian untuk menjadi sarjana dibeberapa bidang yang laku keras belaka, seperti ; Ekonomi, Kedokteran, Tehnik dan Bahasa. Pendidikan akhirnya menjadi sebuah pasar.
Konsep link and match (kesepadanan dan keselarasan) yang dicanangkan pemerintah beberapa waktu yang lalupun minimbulkan banyak permasalahan. Muncul kecenderungan terkonsentrasinya masyarakat untuk menempuh pendidikan eksakta dan mengabaikan ilmu sosial lainnya. Konsep inipun pada perkembangan dan prakteknya lebih kepada pemaksaan manusia untuk menjadi sekrup-sekrup industrialisasi yang diterapkan oleh negara-negara maju. Mahalnya pendidikan formal pada akhirnya membuat masyarakat Indonesia tidak mampu untuk menikmati pendidikan yang layak. Sedikitnya alokasi APBN yang diserap untuk sektor pendidikan belum mencerminkan pemerintah untuk memberdayakan masyarakat. Kepincangan struktur sosial, rakyat yang terbelenggu oleh kebodohan dan kemiskinan merupakan konsekuensi logis dari sistem yang ada. Sistem pendidikan formal akhirnya dijadikan ajang untuk mencari keuntungan yang merugikan siswa atau mahasiswanya. Kapitalisme Internasional adalah sumber dari kepincangan struktur masyarakat sedang kebisuan sektoral di masing-masing negeri adalah salah satu dari mata rantainya.
Perubahan demi perubahan dalam rumusan arah pendidikan itu tetap tidak membawa hasil yang diinginkan karna watak menciptakan kaum pekerja tidak pernah sepenuhnya hilang. Perubahan terhadap hal yang tidak substansial apalagi hanya pada bentuk fisiknya saja adalah satu hal yang sia-sia bahkan semakin menjauhkan dari hakikat pendidikan itu sendiri. Tinggal bagaimana kita kembali pada hakikat dari pendidikan tersebut. Marilah kita ciptakan kerumunan (diskusi) dimana-mana sebagai ajang proses belajar-mengajar (berpendidikan) . semua orang adalah guru dan alam raya adalah sekolahku. Kita mampu untuk merubah semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar