Label

Minggu, 02 Oktober 2011

BUDAYA KORUPSI

1. Penyakit Sosial
Yang dimaksud dengan budaya adalah pola pikir dan pola perilaku efektif untuk mencapai tujuan hidup. Karena efektif untuk mencapai tujuan hidup, maka budaya dilestarikan. Budaya merupakan produk dari kondisi riil kehidupan sosial maka budaya sebagai bangunan atas (supra structure) dari kehidupan sosial. Korupsi adalah aplikasi wewenang pejabat untuk kepentingan dirinya (keluarganya atau kelompoknya).
Jadi budaya korupsi adalah pola pikir dan pola perilaku efektif untuk mencapai tujuan hidup melalui penggunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok. Budaya korupsi tumbuh dan hidup subur dalam suatu sistem sosial yang bertumpu paham paham individualisme dan liberalisme, karena dalam paham tersebut seseorang  atau kelompok sosial mempunyai kebebasan untuk melakukan tindakan asal tujuannya tercapai. Budaya tersebut hakikatnya adalah budaya para birokrat atau para pejabat, baik di tingkat perusahaan maupun di tingkat pemerintahan negara di seluruh pelosok dunia termasuk di Indonesia.
Birokrasi Indonesia merupakan warisan budaya feodal Jawa, di mana lapisan sosial terbawah adalah rakyat marhaen atau cacah yang terdiri dari petani dan pedagang. Dua unsur sosial ini adalah produsen, karena mereka bekerja menghidupi orang seluruh negeri. Petani yang memproduksi barang-barang keperluan hidup, sedangkan pedagang yang mendistribusikannya. Kedua unsur sosial tersebut di samping sebagai produsen juga menjadi prajurit di kala kerajaan dilanda peperangan. Dalam masyarakat feodal, petani sebagai hamba yang dihisap dan ditindas oleh kaum feodal dan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan feodal melalui status sosial prajurit.
Di atas cacah, berdiri bangunan sosial yang disebut penepuluh (kepala kelompok yang membawahi 10 orang cacah), penatus (kepala kelompok yang membawahi 100 orang cacah atau 10 orang penepuluh), dan penewu (kepala kelompok yang membawahi 1000 orang cacah, atau 10 orang penatus).. Cacah harus menyetorkan (memberi upeti) hasil kerjanya kepada penepuluh, kemudian penepuluh meneruskannya kepada penatus, kemudian penatus meneruskannya kepada penewu, dan penewu meneruskannya upeti tersebut kepada raja. Dengan model ini terjadilah penghisapan berantai terhadap tani hamba. Ini merupakan mekanisme sosial yang terjadi hampir pada seluruh sistem masyarakat feodalisme. Dalam bahasa masyarakat sekarang ini, mekanisme sosial tersebut  disebut korupsi. Berdasarkan paradigma tersebut, korupsi bukan masalah individu, tetapi masalah sistem sosial yang harus dijalankan oleh individu yang mempunyai kekuasaan seperti penepuluh, penatus, dan penewu.
Syarat untuk mengangkat penepuluh, penatus, dan penewu adalah didasarkan pada besarnya upeti. Makin besar upeti yang diberikan kepada raja, mereka dinyatakan loyal. Loyalitas merupakan syarat utama pengangkatan pejabat kerajaan. Pikiran ini diikuti oleh sistem masyarakat berikutnya yaitu sistem sosial kapitalisme. Di Indonesia dipraktekan oleh rezim-rezim yang berkuasa sampai sekarang ini. Dengan pola pikiran yang demikian ini, sulit diharapkan ada pejabat yag diangkat berdasarkan pengalaman praktek dan keunggulan teori atau orang yang mempunyai keunggulan keahlian dan keunggulan pengetahuan.
Dalam sistem sosial kapitalisme, kedudukan raja diganti oleh kaum kapitalis. Cacah berubah sebutan menjadi buruh, penepuluh, penatus, dan penewu berubah status menjadi manajer pertama, manajer madya, dan manajer puncak. Semuanya mengabdi kepada kaum kapitalis yang berkuasa dalam bidang ekonomi sekaligus dalam bidang politik. Para manajer menyerahkan upeti kepada kaum kapitalis berupa laba. Oleh sebab itu prestasi para manajer diukur dari besarnya laba yang diserahkan kepada kaum kapitalis, atau bahasa bisnisnya disebut tingkat rate of return on investment (besarnya tingkat hasil investasi kaum). Makin tinggi tingkat return on investment yang dihasilkan oleh manajer, mereka dianggap makin loyal terhadap pemilik modal.  Mekanisme sistem sosial yang demikian ini juga melahirkan korupsi. Para manajer dengan wewenangnya dapat melakukan korupsi yang dapat menghancurkan kaum kapitalis yang mengangkatnya. Hal itu terjadi pada kasus Enron, Xerox, dll, di Amerika Serikat, dan di berbagai pelosok dunia, termasuk di Indonesia dengan kasus BPPN, BLBI, dsb.
Hakikatnya korupsi adalah penyakit sosial, bukan hanya di dalam sistem sosial feodalisme, khususnya feodalisme Jawa, namun juga terjadi pada sistem masyarakat kapitalisme. Dalam sistem feodalisme, yang melakukan korupsi adalah para pejabat kerajaan, sedangkan dalam sistem sosial  kapitalisme yang melakukan korupsi adalah para pejabat perusahaan dan para pejabat negara, karena pejabat negara adalah komprador dari kaum kapitalis. Individu sebagai pelaku korupsi tidak dapat disalahkan, mereka adalah bagian dari sistem sosial, mereka adalah mesin sosial yang harus berjalan sesuai dengan polanya.
Yang menjadi korban korupsi adalah tani hamba dalam sistem masyarakat feodalisme dan ploretar dalam sistem masyarakat kapitalisme. Karena kedua golongan sosial ini harus bekerja keras untuk menompang hidup para pejabat dan pemilik alat produksi (kaum feodal dan kaum kapitalis). Dalam sejarah membuktikan bahwa keberadaan sistem masyarakat feodalisme hancur karena pejabatnya korup melalui penghisapan dan penindasan rakyat sehingga rakyat bersatu melakukan revolusi seperti yang terjadi di  Perancis pada tahun 1789, kemudian disusul oleh revolusi Rusia pada tahun 1917, revolusi China, revolusi Cuba, Revolusi Vietnam, dan revolusi Indonesia tahun 1945. Revolusi-revolusi itu lahir karena keserakahan kaum feodal kemudian disusul oleh kaum kapitalis dan kaum kolonialis, dan karena keserakahan para pejabat dalam sistem sosial feodalisme, kaptitalisme, dan kolonialisme. Keserakahan sistem sosial melahirkan keserakahan individu yang memiliki kekuasaan.
Selama masih ada birokrasi baik di perusahaan maupun di negara, korupsi tetap akan ada karena korupsi merupakan dampak dari mekanisme suatu sistem. Korupsi hanya bisa diperkecil jika para pejabat perusahaan dan para pejabat negara berpola pikir,  berpola perilaku, dan berpola hidupnya seperti rakyat marhaen (buruh tani dan buruh pabrik). Jadi menghapuskan korupsi adalah utopia dalam sistem sosial feodalisme, kapitalisme, dan kolonialisme. Dalam sistem masyarakat sosialisme seperti di China, korupsi tetap ada. Selama masih ada birokrasi, korupsi pasti lahir. Korupsi adalah anak kandung birokrasi baik di perusahaan maupun  di pemerintahan negara.

2. Kekuasaan Identik dengan Korupsi
Hakikatnya kekuasaan politik adalah kekuasaan korup. Ia (korupsi) lahir dari faktor internal kekuasaan politik itu sendiri melalui proses dialektik (saling hubungan, konflik kepentingan, gerak, dan perubahan). Korupsi adalah tindakan penguasa untuk menyalahgunakan kekuasaan untuk memperoleh materi (uang). Karena uang merupakan salah alat yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tanpa uang, manusia yang hidup dalam zaman kapitalisme tidak bisa membiayai hidupnya. Oleh sebab itu barangsiapa yang memiliki kekuasaan (ekonomi, politik, dsb.) cenderung digunakan untuk memperoleh uang. Hancurnya sesuatu rezim bisnis dan politik sebagian besar disebabkan oleh korupsi.
            Pada zaman VOC, para birokrat koloniaal Belanda dilanda korupsi yang hebat sehingga VOC runtuh pada tahun 1799. Negara kolonial Belanda runtuh, lahir negara Repubik Indonesia. Sebagai kelanjutan dari negara korup, maka RI pada awal berdirinya juga korup. Hal itu disebabkan karena birokrat RI berasal dari birokrat negara kolonial Belanda. Jadi ada warisan korup dari  pendahulunya. RI-Soekarno jatuh diganti RI-Soeharto, korupsi makin merajalela. Karena rasa nasionalisme bidang ekonomi dan politik hampir hilang diganti oleh ekonomi pembangunan yang ditopang oleh modal asing. RI-Soeharto jatuh, diganti  oleh RI-Habibie, Gus Dur, dan Megawati, korupsi berjalan sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu dunia bisnis dan politik  merupakan dua sisi uang pada satu keping mata uang, kekuaaan dan korupsi.  
            Menyalahgunakan kekuasaan yang melanggar aturan yang dibuat oleh penyelenggara kekuasaan  adalah hal yang harus diterima dalam sistem negara kuno maupun modern. Pada negara kuno kekuasaan bersifat absolut, digantikan negara modern di mana kekuasaan bersifat demokratik. Itu artinya tindakan penguasa politik beralih dari  sistem upeti pada negara kuno (monarchi absolut) ke sistem korupsi pada negara modern; dari korupsi dari satu orang yaitu raja atau aristokrat pindah ke beberapa orang yaitu birokrat.
            Jika yang menjadi birokrat itu kaum feodal atau aristokrat, korupsi tidak menjadi masalah, memang karakter dasar mereka adalah korup melalui upeti. Tetapi jika yang menjadi birokrat itu dari anak  rakyat marhaen (anak petani, anak buruh, anak pedagang kecil, anak kaum miskin kota, anak guru, dan anak-anak kaum rakyat miskin lainnya), korupsi sebenarnya tidak harus dilakukan. Mereka itu melakukan bukan karena karakter dasar yang dimilikinya tetapi karena pengaruh lingkungan birokrat yang masih didominasi oleh kaum feodal atau aristokrat  Mereka anak-anak rakyat miskin yang menjadi birokrat masuk dalam lingkaran birokrasi warisan feodal dan kolonial, jadi hakikatnya mereka menjadi “korban” dari suatu sistem. Apakah mereka tidak mempunyai pendirian?. Punya, tetapi pendiriannya masih minoritas, belum mampu .mengubah sistem yang telah berjalan.
            Pada zaman RI-Soeharto, korupsi mendapat tempat yang subur, karena penerapan konsep pembangunan ekonomi yang ditopang modal asing. Modal asing  harus bekerja sama dengan kaum birokrat dan kaum pemodal nasional dalam kegiatan operasinya di Indonesia. Kerjasama inilah awal lahirnya korupsi, kolosi, dan nepotisme (KKN). KKN bukan kemauan individu, tetapi hasil kerja  suatu sistem politik pembangunan ekonomi model kapitalisme (pembangungan ekonomi yang ditopang oleh modal asing). Karakter dari kaum kapitalis baik asing maupun nasional adalah mencari laba sebesar-besarnya. Untuk memperolehnya mereka harus bekerja sama dengan kaum birokrat dan menjadikan birokrat bagian dari sistem perusahaan yang dimilikinya yaitu dengan mengangkat birokrat menjadi komisaris perusahaan. Dengan demikian dalam RI-Soeharto ada dua golongan yang memiliki kepentingan yang hakikatnya sama yaitu golongan pengusaha ingin laba melalui bantuan kaum birokrat, dan kaum birokrat ingin kaya (atau ingin menjadi kapitalis) dengan bantuan kaum kapitalis.
            Warisan RI-Soeharto dilanjutkan oleh generasi berikutnya, dalam perilaku yang berbeda, tetapi hakikatnya sama yaitu menjadikan diri birokrat menjadi kapitalis baru. Karena pada waktu menjadi birokrat sebagian dari mereka itu berasal dari anak rakyat jelata yang belum memiliki kekayaan melimpah. Dengan demikian birokrasi di Indonesia adalah suatu proses pembentukan kapitalis baru. Oleh para pakar ekonomi disebut “kapitalis kroni,  atau kapitalis semu”. Mereka menjadi kapitalis bukan karena usaha bisnisnya, tetapi dari usaha menggunakan kekuasaannya. Apakah mereka itu salah?. Jawabnya tidak. Mereka bagian dari suatu sistem negara modern, di mana kekuasaan itu adalah identik dengan korupsi. Jkt 8/7/2002 Dar.
            Sebenarnya pikiran untuk korupsi itu sejak masyarakat itu “terbelah”, artinya masyarakat itu tidak dalam satu kesatuan kerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat yang demikian ini terjadi ketika pemimpin masyarakat menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan dirinya, bukan untuk kepentingan seluruh anggota masyarakat, yaitu dengan jalan menarik upeti (pajak) dari anggotanya dan memaksa anggotanya bekerja untuk kepentingan dirinya. Kerja paksa dan pajak adalah embrio dari korupsi. Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh pemimpin masyarakat karena dibantu oleh orang-orang yang mengelilingi pemimpin tersebut dengan mengangkat dirinya sebagai pembantu pemimpin, penasehat pemimpin, dan penjaga keselamatan pemimpin. Ketiga elemen sosial tersebut hakikatnya merupakan “parasit atau lintah darat” yang menghisap darah rakyat  karena mereka tidak bekerja memproduksi barang-barang keperluan hidup.
Para pembantu pemimpin tugasnya adalah melaksanakan pikiran pemimpin khususnya dalam hal pengumpulan harta untuk membiayai kegiatan kepemimpinannya. Dalam melaksanakan perintah pimpinan itu, para pembantu pimpinan mengambil sebagian hasil dari pengumpulan harta tersebut melalui pajak dan kerja paksa sebagai imbalan tidak resmi (hasil  catutan) tanpa diketahui oleh pemimpin; pemimpin dipastikan tidak bisa mengontrol kegiatan mereka karena jumlah dan jenis kegiatan bermacam-macam; tindakan mencatut ini sekarang disebut korupsi. Jkt.7/11/2002 Dar.

3. Telaah Kritis
            Dalam sistem sosial feodalisme, kapitalisme, imperalisme, dan sosialisme, korupsi merupakan penyakit sosial. Hal itu disebabkan karena dalam sosial tersebut masih ada lembaga yang disebut negara. Negara merupakan alat korupsi bagi para penguasanya, karena kondrat manusia adalah hedonistik (mengejar kenikmatan pribadi). Untuk mengurangi atau mencegah korupsi, pemimpin tertinggi negara dan pejabat tinggi harus hidup seperti rakyat dan harus memberi pendidikan intensif kepada para pejabat negara di bawahnya agar berkesadaran rakyat. Artinya semua pejabat negara harus mengikuti jalan pikiran, perasan, dan kepentingan rakyat yang dipimpinnya.
            Tindakan tersebut tidak mudah dijalankan. Karena faktor intern manusia yang memiliki jiwa hedonistik, individualistik, dan liberalistik. Oleh sebab itu dalam pendidikan moral politik harus ditekankan bahwa jiwa-jiwa tersebut harus ditempatkan di bawah kepentingan, pikiran, dan perasaan rakyat yang dipimpinnya. Para penguasa negara harus berperasaan, berpikiran, dan berperilaku seperti rakyat yang dipimpinnya, artinya malu terhadap rakyat untuk menyalahgunakan kekuasaan yang diperoleh dari rakyat.
            Dalam negara dan masyarakat feodalis, kapitalis, dan imperalis, korupsi mendapat tempat yang baik dalam kehidupan sosial. Karena harga diri seseorang ditentukan oleh harta dan kuasa, sehingga orang berlomba mencari harta dan kuasa, salah satu jalannya adalah melalui menyalahgunakan kekuasaannya atau korupsi. Melakukan korupsi dalam masyarakat tersebut merupakan “prestasi kerja”, karena dengan memperoleh harta di luar pendapatan resmi merupakan kebanggaan keluarga. Keluarga dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan baik, atau keluarga terhindar dari kekurangan ekonomi atau kemiskinan.
            Dalam negara nasional demokratis,  para penguasanya juga melakukan korupsi. Karena sebagian besar dari mereka berasal dari rakyat miskin. Kekuasaan yang dipegangnya merupakan kesempatan untuk keluar dari kemiskinan. Mereka cenderung menumpuk kapital dan menguasai tanah agar supaya bisa menjadi kapitalis dan feodalis baru.
            Dalam negara demokrasi rakyat dan sosialisme, para penguasanya juga melakukan korupsi. Karena kesadaran para penguasa negara masih terjangkit penyakit individualisme dan liberalisme. Mereka belum seluruhnya bermoral kerakyatan, sisa-sisa moral feodal dan borjuis masih bersemayam dalam kehidupan para penguasa negara.
            Dengan demikian, korupsi ada dan tetap ada dalam setiap bentuk negara. Karena negara hakikatnya adalah memberi tempat subur lahir dan berkembangnya korupsi. Hanya dalam masyarakat primitif atau masyarakat tertutup, korupsi tidak ada karena masyarakat tersebut alam menjadi milik bersama, dikelola bersama, dan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama. Masyarakat yang demikian belum terjangkit pernyakit korupsi belum ada pemimpin formal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar